SuryaNews Batam-Ketua Kelompok Diskusi Anti86 (Kodat86) Cak Ta’in Komari SS menilai penyidik Polda Kepri sudah bisa meningkatkan status penyelidikan menjadi penyidikan dan menerbitkan SPDP dalam kasus dugaan korupsi honorer fiktif di sekretariat DPRD Provinsi Kepri. Selain itu, Polda Kepri juga bisa menetapkan penanggung jawab anggaran sebagai tersangka. Termasuk penikmat dan penerima aliran anggaran manipulatif tersebut.
“Kasus honorer fiktif unsur pidananya sudah masuk. Cukup alat bukti untuk peningkatan status penyidikan dan penetapan tersangka,” kata Cak Ta’in kepada media (2/2).
Menurut Cak Ta’in, ketika penyidik Polda menyatakan menemukan kasus honorer fiktif itu sudah menunjukkan satu alat bukti. Ketika sudah memeriksa saksi-saksi langsung dan tidak langsung, ditambah dengan keterangan ahli hukum pidana, maka sudah cukup jadi alat bukti meningkatkan status ke penyidikan, menerbitkan SPDP dan menetapkan tersangka.
“Kalau lihat dari pernyataan penyidik di media beberapa kali sebelumnya, itu sudah cukup menetapkan seseorang menjadi tersangka. Persoalannya sekarang serius menuntaskan proses hukumnya gak?” ujar Cak Ta’in.
Mantan Dosen Unrika Batam itu menjelaskan, temuan honorer fiktif di DPRD Provinsi Kepri dari 2021-2023 itu sudah memenuhi unsur-unsur dalam Pasal 2, Pasal 3, Pasal 8, dan Pasal 9 UU No.31 tahun 1999 jo UU No.20 tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Jo. Pasal 263 KUHP.
“Pointernya adalah setiap orang pegawai negeri atau pejabat negara; memperkaya atau menguntungkan diri sendiri, orang lain atau korporasi; dengan melawan hukum; menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana jabatan; dan dapat merugikan keuangan negara. Orang-orang yang namanya dicatut, atau mendapatkan pekerjaan pribadi tapi dibayar pakai status honor itu hanya korban. Koruptornya ya penikmat anggaran tersebut,” jelas Cak Ta’in.
Lebih lanjut Cak Ta’in menegaskan, tindakan korupsi itu bukan soal jumlah atau besaran angka duit yang dikorupsi, tapi substansi unsur tindakannya memenuhi atau tidak. Maka dengan kalimat honorer fiktif saja sudah memenuhi unsur pidana pemalsuan, pegawai negeri atau pejabat, dan penggelapan uang, merugikan negara dan sebagainya. “Cuma ini memang dibutuhkan keberanian penyidik Polda Kepri, sebab kasus ini kita yakini ada keterlibatan unsur pimpinan dewan,” tegasnya.
Cak Ta’in menambahkan, jumlah honorer yang direkrut hingga sebanyak 219 orang itu saja sudah tidak wajar. Penyidik membidik anggaran honorer fiktif selama 3 tahun dengan total 605 tenaga honor tahun 2021, 2022 dan 2023. Anggota DPRD Provinsi Keprinya cuma 45 orang, di sekretariat DPRD Provinsi itu pasti ada ASN-nya. “Tenaga honorer sebanyak itu buat apa? Mau mengerjakan apa? Maka berbagai modus digunakan di situ.” urainya.
“Kuncinya sekarang ada pada Kapolda Kepri dan penyidiknya, untuk serius menuntaskan dugaan korupsi honorer fiktif tersebut, dan memproses semua yang terlibat tanpa pandang bulu. Tetapi kalau Polda Kepri tidak berniat menuntaskan kasus itu, kita akan laporkan kasusnya ke Tipikor Mabes Polri supaya diambil alih, atau melaporkannya ke KPK. Mumpung kami sedang ada urusan di Jakarta juga. Toh, prosesnya belum penyidikan, belum terbit SPDP dan belum ada penetapan tersangka,” tambah Cak Ta’in.***