SuryaNews Bojonegoro -Hampir semua partai memberikan dukungan kepada Setyo Wahono dan Nurul Azizah untuk Pilkada Bojonegoro. Praktis hanya tinggal PKB dan PDIP, namun dua partai itu juga lebih dari cukup untuk mengajukan persyaratan pasangan calon Bupati Bojonegoro 2024-2029.
PKB merupakan partai pemenang di DPRD Bojonegoro dengan mendapatkan 13 kursi, apalagi ditambah PDIP yang memperoleh 6 kursi. Kedua partai ini diyakini tidak akan mau bergabung dengan gerakan koalisi pemerintahan yang dimotori Gerindra. Bagaimanapun PDIP secara nasional adalah pemenang pemilu legislatif 2024, sementara Jawa Timur termasuk Bojonegoro merupakan basisnya PKB. Alasan tersebut yang membuat kedua partai akan memilih sikap politik berseberangan dengan manuver Gerindra yang mengendalikan hampir semua partai lainnya.
Untuk menghadapi pilkada Bojonegoro, Gerindra mendorong pasangan Wahono-Nurul, yang kemudian diikuti Golkar, Demokrat, PAN dan lainnya. Pertanyaannya arus dukungan besar dalam pilkada itu apakah menjamin bakal memenangkan pilkada Bojonegoro. Belum tentu, bahkan terlalu sulit. Sosok calon PKB-PDIP, mantan Bupati Bojonegoro 2018-2023 Anna Mu’awanah, bisa berpasangan dengan Teguh Haryono atau Ahmad Mukhtarul Huda PDIP. Baik Mas Teguh maupun Kang Huda merupakan putra asli Bojonegoro yang sukses di ibukota, sama saja dengan Setyo Wahono.
Demikian kesimpulan diskusi dengan pengamat politik, sosial kemasyarakatan, yang mantan jurnalis, mantan dosen, dan mantan staff ahli pimpinan DPRD, Cak Ta’in Komari SS dalam perbincangan panjang soal peta dan dinamika politik Bojonegoro menjelang Pilkada 2024.
“Masih sangat sulit untuk mengalahkan Anna Mu’awanah di kalangan akar rumput. Masyarakat di desa-desa tahunya Anna yang sudah membangun jalan menjadi mulus dan infrastruktur lainnya. Kalangan menengah ke atas memang mayoritas menghendaki Wahono-Nurul menjadi Bupati Bojonegoro 2024-2029. Tapi itu sangat berat, perlu kerja ekstra keras.” jelas Cak Ta’in.
Cak Ta’in mengingatkan, suksesi pilpres dan pilkada 2024 ini sangat beda. Mobilisasi seperti pilpres kemarin perlu pendanaan yang sangat besar. Bahkan dengan mobilisasi bansos hingga 500 miliar, serta menggerakkan semua aparatur struktural. “Situasi itu sangat berbeda dengan pilkada nanti. Jangan harap bisa memobilisasi aparatur untuk politik secara gratis. Perlu dana besar atau power kuat untuk menekan,” urainya.
Lebih lanjut Cak Ta’in menjelaskan, Anna punya kekuatan politik yang sudah ditanam selama ini. Buat masyarakat akar rumput, Anna sudah dianggap sangat sukses dan peduli pada mereka. Sosoknya sudah sangat dikenal, terlebih punya kekuatan dana politik yang besar. Suami Anna merupakan sosok pengusaha nasional dengan proyek-proyek besar. Sementara nama Wahono yang merupakan komisioner KPUD pada jaman Suyoto Bupati, hampir tidak dikenal orang.
“Anna hanya perlu dipoles sedikit suksesinya, dan terpenting memilih calon wakil yang tepat, yang punya nilai jual setara dengan Wahono-Nurul. Tapi ya tetap saja, Anna tidak boleh jumawa dan terlalu yakin bakal menang mudah. Dia juga bisa dikalahkan Wahono-Nurul kalau salah strategi. Intinya ya gak boleh saling ngentengi.” jelasnya.
Kekuatan Anna lantaran dukungan finansial yang besar, sudah terbiasa bermain politik, sehingga punya keberanian lebih dalam membiayai suksusi politik. Hal itu berbanding terbalik dengan posisi Wahono-Nurul. Keduanya diyakini punya kekuatan finansial terbatas untuk politik, dan persoalan terbesarnya tidak ada keberanian mengorbankan aset atau dana yang dimiliki untuk biaya politik suksesi politik. “Keberanian dalam pendanaan politik itu yang nantinya akan membedakan hasil,” tambah Cak Ta’in. ***