SuryaNews Bojonegoro-Forum Kedaulatan Masyarakat Bojonegoro (FKMB) mendesak Kejaksaan Negeri Bojonegoro untuk menjemput paksa dealer rekanan dalam pengadaan mobil siaga desa yang sedang disidik. Pengembalian dana diskon dari dealer juga masih sangat kecil dikembalikan oleh para kepala desa. Sejauh ini baru sekitar 20 kades dengan dana sejumlah Rp. 200 juta.
“Siapapun yang tidak kooperatif, kejaksaan langsung jemput paksa. Apalagi sudah panggilan ketiga. Artinya mereka tidak ada etikat baik untuk menyelesaikan masalah dugaan penyimpangan dalam pengadaan mobil siaga desa tersebut.” kata Ketua FKMB sekaligus LSM Lemtaki, Edy Susilo SSos kepada media (5/3).
Menurut Edy, mangkirnya PT. Berkat Langgeng Sukses Sejati, dan PT Daya Sukses Sejati dari panggilan kejaksaan memperkuat dugaan korupsi dalam proyek tersebut. Jika tidak ada masalah tentu akan diselesaikan secara baik dan kooperatif. “Ada kesalahan yang bisa ditoleransi tapi ada yang tidak,” ujarnya.
Dalam pembelian mobil tersebut, dealer Suzuki memberikan suap dan gratifikasi berupa potongan harga alias diskon sekitar Rp. 15 juta setiap mobilnya. Kejaksaan juga sudah menemukan selisih yang cukup besar antara harga off the road dengan on the road. Di mana kendaraan operasional pemerintah bisa tidak dikenakan pajak PPN atau PPnBM.
“Kades yang mengembalikan dana juga baru 20 orang, sementara pengadaan mobil siaga desa itu melibatkan ratusan kades. Artinya banyak yang tidak beretika baik dan kooperatif. Maka kejaksaan harus bertindak tegas, ” ucap Edy.
Edy menilai, delik kasusnya dan hasil perkembangan penyelidikan kejaksaan, kasus pengadaan mobil siaga desa itu sudah memenuhi unsur pidana korupsi dan sudah tepat dinaikkan statusnya ke penyidikan. Terkait sikap dealer Suzuki yang tidak kooperatif itu justru memperkuat dugaan tindak pidana korupsi dalam transaksi jual beli mobil jenis APV tersebut, aparat kejaksaan bisa menjemput paksa.
“Masalah yang perlu dipecahkan, apakah dalam pengadaan tersebut semata inisiatif dealer atau ada pejabat yang mengkondisikan sebagai aktor centralnya. Proses penyidikan akan mengarah ke sana, ” jelasnya.
Apalagi kejaksaan telah menyatakan ada selisih harga dari off the road dan on the road, itu menjadi lebih menarik. Harga on the road mobil APV Arena sekitar Rp. 218 juta, sementara of the road hanya sekitar Rp. 114 juta. Pengadaan mobil siaga sebanyak 419 desa melalui dana Bantuan Keuangan Khusus Desa (BKKD) TA 2022 itu disediakan anggaran sekitar Rp. 103.750.000.000,- Anggaran yang direalisasikan di akhir tahun 2022 itu dianggarkan melalui APBD Perubahan Bojonegoro tahun 2022, dengan alokasi masing-masing desa sebesar Rp. 250 juta. Tetapi dalam proses pengadaan mobil siaga yang mayoritas mengambil mobil merek Suzuki APV GX seharga Rp. 218,5 juta, tersebar bau tidak sedap, bahwa masing-masing kepada desa mendapatkan dana cashback sebesar Rp. 15 juta atas pembelian kendaraan tersebut.
“Penyidik bisa secepatnya mengajukan permohonan audit kepada BPKP agar angka potensi kerugian negara segera dapat dihitung. Menyalahi prosedur atau tidak dalam pengadaan mobil siaga desa itu,” papar Edy.
Mahasiswa Master Hukum Unitomo Surabaya itu menjelaskan, ada empat poin yang perlu diperhatikan secara seksama yakni pertama harga mobil yang dibeli, maka sisa anggaran harus kembali disetor ke kas daerah; kedua penerimaan cashback kepada kepala desa sebagai bentuk gratifikasi; ketiga, pemberi gratifikasi yakni dealer mobil Suzuki; dan keempat, adakah aktor utama yang mengkondisikan pengadaan mobil tersebut.
Untuk itu, Edy mendesak Kejaksaan Negeri Bojonegoro untuk segera mengumumkan tersangka, menjemput paksa siapa saja yang tidak kooperatif, karena kasus sudah naik pada status penyidikan. “Memang ini korupsi berjama’ah karena hampir semua kepala desa menerimanya. Tapi tindakan itu lebih dipengaruhi oleh dealer Suzuki karena pemberian gratifikasi tersebut, maka dealer Suzuki yang paling bertanggungjawab. Ada istilah pengesampingan pihak, tapi diwajibkan mengembalikan dana gratifikasi yang diterima tersebut. Itu nanti rananya jaksa dan hakim untuk mempertimbangkan dan memutuskan,” paparnya.
Edy menekankan bahwa penerimaan cashback pembelian mobil siaga oleh para kades itu jelas melanggar Pasal 12a atau Pasal 12b UU No.31 tahun 1999 Jo. UU No.20 tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
“Ancaman hukumannya lumayan kalau penerimaan itu masuk kategori pelanggaran pasal 12a dan 12b. Minimal 4 tahun dan maksimal 20 tahun penjara,” jelas Edy.
Pasal 12a dan 12b hampir senada bunyinya yang intinya ‘pegawai negeri atau penyelenggara negara yang menerima hadiah atau janji, padahal diketahui atau patut diduga bahwa hadiah atau janji tersebut diberikan sebagai akibat atau disebabkan karena telah melakukan atau tidak melakukan sesuatu dalam jabatannya yang bertentangan dengan kewajibannya;’
“Gratifikasi tersebut menurut saya sudah masuk kategori korupsi karena unsurnya sudah memenuhi; kades itu bagian penyelenggara negara, menerima hadiah atau gratifikasi, hadiah atau gratifikasi tersebut diberikan terkait dengan pengadaan mobil siaga, dan patut diduga karena kades melakukan pembelian mobil tersebut. Saya pikir tidak ada alasan kejaksaan tidak memproses cashback pembelian mobil siapa 2022 oleh para kades tersebut. Kalau dealer nya gak kooperatif ya jemput paksa saja dan langsung tahan saja,” tegas Edy.
Pengembalian uang korupsi tidak menghilangkan tindak pidana korupsi itu sendiri, tapi hanya sebatas meringankan. Masalahnya pengembalian itu dilakukan setelah kasus nya sendiri naik status menjadi penyidikan. “Artinya tidak ada etikat dari awal untuk mengembalikan dana korupsi itu, setelah status penyidikan persoalan tentu menjadi berbeda. Kasus ini harus dituntaskan proses hukumnya karena masih ada pihak-pihak diduga terlibat belum diperiksa. Yang terpenting aparat kejaksaan harus membongkar aktor utama nya,” tambah Edy. ***