SuryaNews Bojonegoro-Forum Kedaulatan Masyarakat Bojonegoro (FKMB) minta aparat penegak hukum untuk memeriksa dana CSR di Kabupaten Bojonegoro. Pengelolaan CSR yang dikendalikan Pemkab. melalui Bapedda diduga banyak dimanipulasi karena tidak pernah transparan selama ini. Begitu juga dengan nilai besaran CSR setiap tahunnya dan digunakan untuk apa saja.
“Dana CSR itu hakekatnya hak masyarakat, terutama yang tinggal di wilayah terdampak oleh aktivitas suatu perusahaan, terutama perusahaan tambang. Faktanya masyarakat terdampak justru banyak menghadapi masalah,” kata Ketua FKMB, Edy Susilo SSos kepada media Selasa (6/8).
Menurut Edy, menjelang musim kemarau, wilayah daerah tambang, Kecamatan Gayam dan sekitarnya, sudah mengalami kekeringan dan kesulitan air bersih. padahal wilayah timur, Utara dan Selatan Bojonegoro masih bisa menanam padi. “Kesulitan air bersih di wilayah kota itu mutlak tanggung jawab pemerintah daerah,” ujarnya.
Edy menjelaskan, informasi realisasi CSR yang memiliki kemiripan dengan program dan tugas pokok pemerintah mengindikasikan adalah doble anggaran. Mengingat Bojonegoro memiliki anggaran yang besar, sehingga program apapun tidak perlu ditopang dana CSR.
“Dana CSR itu harusnya sepenuhnya bisa dinikmati dan diterima masyarakat. Terutama untuk mengatasi masalah kekeringan dan kesulitan air bersih. Persoalan ini selalu dihadapi masyarakat sekitar wilayah tambang, sebagai dampak aktivitas pertambangan,” jelasnya.
Lebih lanjut Mahasiswa Magister Hukum Unitomo Surabaya itu menjelaskan, kalau dana CSR itu dikelola dengan benar dan diperuntukkan secara benar, bisa bersifat jangka panjang. Itu juga untuk mengantisipasi jika perusahaan harus berhenti karena cadangan migas sudah habis. “Jangan sampai ke depan, perusahaan berhenti beroperasi, dampak tambang masih dirasakan masyarakat, dan tidak ada lagi CSR untuk menangani masalahnya. Ini justru menjadi masalah besar,” terangnya.
Edy juga menyayangkan pengelolaan dana CSR yang dipusatkan di Bapeda, karena dipastikan akan berbenturan dengan tugas pemerintahan. Semestinya pemkab membentuk badan khusus pengelolaan CSR yang bersifat aspiratif dan bekerja independen. Realisasi dana CSR yang bersifat program harus diajukan terlebih dahulu kepada Pemkab maupun perusahaan pemberi CSR, serta sepengatahuan DPRD.
“Mestinya dana CSR dikelola oleh lembaga khusus. Program utama diprioritaskan untuk masyarakat wilayah terdampak aktivitas dari perusahaan pemberi CSR. Aspirasi masyarakat juga harus diakomodir, termasuk usulan program yang diajukan.” urainya.
Ditambahkan Edy, pengelolaannya diumumkan di publik baik melalui laporan hard copy maupun media sosial, bisa diakses oleh masyarakat secara umum, sehingga terkontrol dan terawasi dengan baik. Pemkab Bojonegoro melalui Peraturan Bupati atau Peraturan Daerah mengatur mekanisme, rekrutmen, honor, tugas dan tanggung jawabnya secara detail.
“Jika pelaksana unsur pemerintah, ada indikasi bakal tidak beres. Lah, gimana mengelola anggaran APBD saja setiap tahun tidak bisa, mengalami SILPA sangat besar. Ini harus ditata ke depan oleh Bupati baru ke depan,” tambahnya.
Karena ketidakterbukaan dan transparan dalam pengelolaan dana CSR itu, lanjut Edy, FKMB minta aparat penegak hukum untuk memeriksanya. Dana CSR yang jumlahnya bisa mencapai Rp. 50 Miliar setahun itu harus jelas realisasinya. “Apakah sudah digunakan sesuai ketentuan dan tepat sasaran, atau justru dibuat bancaan ramai-ramai..?” pungkasnya.***