SuryaNewsBojonego-FKMB mempertanyakan besaran CSR yang dikelola oleh Pemkab. Bojonegoro melalui Bappeda selama ini. Bagaimana realisasinya, jangan sampai dana CSR digunakan untuk tugas pokok pemerintahan, terlebih programnya menjadi overlapping.
“Mestinya pengelolaan dana CSR dikelola secara transparan. Tidak digunakan untuk program tugas pokok pemerintah daerah. Terlebih kalau terjadi anggaran dobel terhadap satu program. Jelas itu korupsi.!” kata Ketua FKMB Edy Susilo SSos kepada media, Senin (5/8).
Menurut Edy, potensi dobel anggaran terhadap satu program itu sangat besar; karena melihat nomenklatur realisasi CSR tahun-tahun sebelumnya masih menyentuh rana pembangunan infrastruktur, penyediaan air bersih bagi masyarakat, bahkan pemberian beasiswa. Bahkan tidak nampak program yang berorientasi pada pemberdayaan ekonomi masyarakat dan kelestarian lingkungan.
“Mestinya pengelolaan CSR itu tidak berubah program yang dicanangkan pemerintah, tapi atas usulan masyarakat. Terutama wilayah terdampak hadirnya pertambangan atau suatu perusahaan. Standar pengelolaan ini yang tidak jelas, bahkan ada kecenderungan realisasinya dimanipulasi,” jelasnya
Lebih lanjut Edy menjelaskan, pembangunan infrastruktur misalnya. Setiap desa telah mendapatkan Alokasi Dana Desa (ADD) atau Bantuan Khusus Keuangan Desa (BKKD) yang cukup besar dari Pemkab. Bojonegoro. Selain itu, desa juga mendapatkan Dana Desa langsung dari Pusat sebesar Rp. 1 miliar per/desa per/tahun. Sehingga kehadiran CSR berpotensi overlapping atau timpang tindih.
“Faktanya masalah yang dihadapi masyarakat masih banyak yang belum tuntas. Bahkan Bojonegoro termasuk daerah yang kemiskinan masih cukup tinggi, sementara APBDnya merupakan salah satu terbesar untuk sebuah pemerintahan kabupaten dengan penduduk sekitar 1,5 juta jiwa.” paparnya.
Edy mencontohkan, persoalan air bersih yang merupakan kebutuhan dasar dan menjadi hajat hidup orang banyak, masih menjadi persoalan serius bagi masyarakat terdampak tambang migas. Beberapa bulan sebelum musim kemarau tiba, bahkan daerah lain masih bisa bertanam padi, daerah sekitar wilayah tambang sudah kering kerontang dan sering kesulitan air bersih.
“Maka patut dipertanyakan sebenarnya realisasi dana CSR itu bagaimana? Mestinya dibuat transparan ke publik, karena CSR itu memang diperuntukkan untuk masyarakat, terutama terdampak aktivitas tambang atau pabrik. Begitu juga dengan realisasi untuk beasiswa, siapa penerima, beasiswa tingkat dasar, menengah atau mahasiswa? Semua itu kan harus jelas. Di sisi lain, melihat APBD yang sangat besar Rp. 7-8 triliun, tentu porsi anggaran pendidikan juga besar, bisa 1-1,5 triliun. Jadi overlapping gak semua itu, mestinya dengan anggaran sebesar itu, pendidikan Bojonegoro tidak lagi bicara soal gratis, tapi sudah harus bahas soal kualitas.” urainya.
Untuk itu, lanjut Edy, FKMB akan segera bersurat kepada semua perusahaan yang beroperasi di wilayah Bojonegoro, juga kepada Bapeda Bojonegoro untuk melakukan cross check, apakah terjadi sinkronisasi program dan besaran anggaran CSR. “FKMB akan segera aktion lah, soalnya masalah di masyarakat masih menumpuk,” tegasnya.***