FKMB Usulkan Dana BKKD Dihapus, Dikembalikan ke Dinas Terkait Agar Profesional, Banyak Kades Terjerat Hukum

0
85

 

Bojonegoro l suryanews co.id-Forum Kedaulatan Masyarakat Bojonegoro (FKMB) mengusulkan agar Bupati Bojonegoro 2024-2029, Setyo Wahono menghapus anggaran Bantuan Khusus Keuangan Desa (BKKD), pengelolaannya dikembalikan kepada dinas terkait. Banyak Kades dan jajaran tidak paham pengelolaan keuangan desa yang memenuhi standar administrasi negara. Akibatnya, banyak kades yang terjerat dan bermasalah hukum terkait realisasi anggaran BKKD tersebut.

“BKKD sebaliknya dihapus, karena aparatur desa, termasuk kades tidak memahami pengelolaan keuangan dengan standar administrasi negara. Anggaran dan pekerjaannya dikembalikan kepada dinas terkait agar lebih profesional,” kata Ketua FKMB Edy Susilo SSos kepada media Senin (23/12).

Menurut Edy, pemberian dana BKKD ditujukan agar pemerintah desa melakukan pembangunan dan program yang urgen dan berhubungan dengan kebutuhan masyarakat setempat. Dengan demikian orientasi dan manfaatnya dapat langsung dirasakan masyarakat, tapi faktanya pemberian BKKD selama ini tidak berjalan sesuai harapan. Dana BKKD dianggap sebagai otoritas Kades secara mutlak sehingga diselewengkan penggunaannya.

“Selama ini BKKD lebih banyak diselewengkan dan menjerat kades dalam masalah hukum. Mereka tidak siap dan tidak memahami pengelolaan keuangan desa secara akuntabel. Maka itu harus dievaluasi.” jelasnya.

Edy menjelaskan, sebagaimana Dana Desa yang digelontorkan pemerintah pusat, Presiden Prabowo Subianto juga memerintahkan kementerian desa untuk melakukan evaluasi dan audit khusus. Bahkan diperintahkan untuk diproses hukum kalau ditemukan penyalahgunaan anggaran tersebut. Seharusnya dengan dana desa sebesar Rp. 1 miliar, seluruh desa mengalami kemajuan signifikan bukan hanya bidang infrastruktur tapi menyeluruh, terutama peningkatan SDM dan ekonomi masyarakat.

“BKKD itu tetap harus dipertanggungjawabkan sesuai ketentuan pengelolaan keuangan negara, tidak bisa seenaknya. Tidak semua pemerintah daerah memberikan BKKD. Hanya daerah yang memiliki anggaran APBD besar yang dapat mengalokasikan dananya, seperti Bojonegoro. Justru masalahnya menumpuk, karena dobel dengan dana desa yang ditransfer pusat langsung ke rekening desa,” urainya.

Lebih lanjut Mahasiswa Magister Hukum Unitomo Surabaya itu menjelaskan, perlu proses yang panjang untuk bisa diberikan otoritas pengelolaan secara langsung oleh kades. Seluruh perangkat desa harus diberikan bekal pengetahuan dan pemahaman terkait pengelolaan keuangan desa dengan standar administrasi negara. Selain itu, konsekuensi hukum juga harus dipahami sebagai tanggung jawab jabatan. Pemerintah pusat dan daerah perlu melakukan pembinaan, pelatihan dan pendampingan jika pemberian dana desa dan BKKD itu dilanjutkan. Persoalannya tenaga pendamping juga harus yang memiliki kapasitas dan pemahaman soal keuangan negara, selain itu akan menimbulkan biaya besar dan pemborosan seperti yang terjadi dalam pelaksanaan dana desa selama ini.

Pemberian dana desa mulai diberikan pemerintah jaman presiden Joko Widodo, tepatnya menjelang pemilu 2019. Sementara BKKD, menyusul kemudian, mengiringi janji politik calon kepala daerah. “Pemberian dana desa dan BKKD itu lebih bernilai politis dibanding efisiensi anggaran.” ujarnya.

Untuk itu, lanjut Edy, FKMB mengusulkan agar Bupati Bojonegoro melakukan evaluasi terhadap BKKD tersebut, sambil menunggu keputusan pemerintah pusat tentang dana desa. Apakah memang harus dilanjutkan atau dihentikan? Masalah terbesar nya karena realisasi anggaran dana desa maupun BKKD tidak dirasakan masyarakat secara maksimal. “Sebaiknya dihentikan, untuk efisiensi anggaran dan pengelolaan yang profesional melalui dinas terkait saja,” tegas Edy mengakhiri.***