Suryanews Jakarta -Sebaiknya partai lain, tak membajak kader Pdip”, begitu kata Hasto, sang Sekjen. Sangat jelas, bahwa itu ditujukan buat Ganjar Pranowo, yang kian meroket elektabilitasnya. Mayoritas lembaga survey mengunggulkannya, diatas angka 30%.
Pertanyaannya kemudian, kenapa GP justru diserang oleh kolega internalnya, di Pdip sendiri? Sebutlah, semisal, Masinton dan Trimed.
Tentu dua hal diatas, sangat kontradiktif. Satu sisi, ada kekuatiran kehilangan GP. Sisi lain, nampak seperti hendak “mengunci” GP. Membingungkan? Tidak!
Kita flash back. Setelah Pilpres 2019, dan Jokowi menang. Pdip, Agustus 2019, mengadakan Konggres di Bali. Prabowo pun hadir, dan seperti di “daulat” waktu itu. Mudah diduga, akan ada rekonsiliasi. Prabowo akan gabung dalam kabinet. Dan ternyata benar.
Spekulasi lain, Pilpres 2024, Prabowo akan dipasangkan dengan Puan. Kenapa begitu? Karena Megawati tak punya waktu lagi, untuk mengoper tongkat estafet trah Soekarno. Ditambah lagi, buat membayar lunas perjanjian batu tulis, Bogor, 2009.
Dan ini, sayup-sayup, sepertinya akan terbukti juga.
Masalah timbul kemudian. Elektabilitas GP kian moncer. Dan ini, sepertinya kian hari, akan menanjak terus.
Lantas, apakah Mega akan tetap nekad menyandingkan Puan dengan Prabowo?
Disitulah inti soalnya. Kegamangan pun terjadi. Satu sisi ingin mengunci GP. Sisi lain, ada rasa kwatir, jika GP akan dibajak partai lain. Alias, GP akan lompat pagar. Begitu yang terakhir ini terjadi, Pdip tentu sadar konsekuensinya. Sangat berat buat Pilpres dan srkaligus Pileg.
Pertama; pasangan yang mereka usung, Prabowo dan Puan, hampir pasti akan kalah.
Kedua; suara raihan kursi parlemen mereka akan jeblok. Coat tail effect dari GP tentu akan signifikan. Mimpi bikin hattrick pun, akan melayang entah kemana.
Mega dan politisi-politisi Pdip, tentulah bukan kacangan. Seperti anak bawang, kemarin sore. Pengalaman panjang, telah membuktikan kiprahnya. Mereka pasti berhitung dengan sangat realistis.
Saya menduga akan diambil kompromi jalan tengah. Regenerasi trah Soekarno tetap jalan, dan GP sebagai jawara elektabilitas, tetap dipegang erat. Artinya, Mega (Pdip) akan mengusung GP dan Puan. Tentu barangkali, akan ada tambahan syarat buat GP. Semisal, elektabilitasnya mesti diatas 40.
Jadi bagaimana membaca kegaduhan di internal Pdip tersebut? Buat saya, itu cuma gimmick foolitik. Sandiwara panggung foolitik. Guna mengkudeta atmosfir berita. Agar masyarakat luas, mengikuti gendang irama. Yang pada ujungnya, buat menjaga dan meningkatkan elektabilitas calon yang akan diusung. Itulah Ganjar Pranowo.
Bagaimana dengan Prabowo?
Kata banyak orang, sebaiknya PS tidak ikut berlomba. Sudah expired. Empat kali sudah gagal. Mestinya mawas diri. Elektabilitas hampir pasti, tak akan bisa menanjak. Sudah mentok. Jika langkah ini yang diambilnya, sepertinya, PS akan mengusung Anies Baswedan (AB), berpasangan (lagi-lagi) dengan Sandiaga Uno.
Maka pasangan itu, akan mengulang Pilkada DKI 2017. Peristiwa kontestasi terburuk yang pernah ada. Dan, merekalah yang keluar sebagai pemenangnya.
Bagaimana, semisal, PS nekad tetap akan maju? Siapa pasangan yang akan dia pilih?
Saya menduga, PS akan memilih Anies.
Pilpres 2024, sebagai the real fighting, cuma akan ada dua pasangan ini. Prabowo/Anies (Anies/Sandi) VS Ganjar/Puan. Dengan asumsi, Mega (Pdip) dengan pertimbangan-pertimbangan diatas.
Bagaimana jika tidak? Bagaimanapun, Pdip punya bargaining position yang sangat kuat. Satu-satunya partai yang bisa mengusung pasangan calon, tanpa mesti berkoalisi dengan partai lain.
Taruhlah, semisal, dengan semua resikonya, tetap mengusung Prabowo/ Puan.
Disinilah konfigurasi tentu berubah. Di titik ini, peran Jokowi menjadi sangat besar. Dan, penting. Kabarnya, KIB (Koalisi Indonesia bersatu) yang terdiri dari Golkar, PAN dan PPP, dipersiapkan sebagai sekoci partai pengusung buat GP.
Dan, Erick Tohir, pun sepertinya telah digadang-gadang mendampingi GP.
Jadi jangan aneh, jika ET kian rajin menyambangi warga Nadliyin (NU). Guna nantinya memperkuat koalisi KIB, sebagai bagian kelompok islam tradisional, jika skenario ini yang terjadi.
Apakah seorang Jokowi dan Ganjar, sebagai kader Pdip, akan berkehendak menjalankan skenario ini?
Artinya, mereka, suka tak suka, dan mau tak mau, mesti keluar dari Pdip. Mesti melawan titah Mega dan Pdip nya? Lantas, bagaimana dengan Gibran, anaknya yang walkot Solo? Juga, Bobby, menantunya yang walkot Medan itu? Bukankah mereka juga kader Pdip?
Soal ini, biarlah waktu yang menjawabnya.
Skenario tersebut akan memunculkan tiga kandidat. Setelah Prabowo/Puan, Ganjar/Erick. Kandidat ketiga, Anies. Siapa pasangannya?
Disinilah complicatednya. AB bukan kader partai mana pun. Tapi, AB punya elektabilitas tiga teratas. Yang kemungkinan besar, nantinya bisa menyalip Prabowo. AB juga jago berdebat. Mengolah kata, dengan gestur tubuh yang ciamik.
Dia juga punya ceruk pemilih yang segmented. Captive market. Begitulah yang diasosiakan banyak orang. Paling tidak, begitulah persepsi orang. Dititik ini, bisa menjadi bumerang. Justru menjadi kontra produktif, jika tak pandai mensiasatinya dengan baik.
Lantas siapa pendamping dan partai pengusungnya?
Partai tersisa, yaitu Demokrat, PKS, PKB dan Nasdem. Demokrat dan PKS, barangkali, bisa berkoalisi lagi, mengulang ketika SBY berkuasa dulu.
Untuk memenuhi Presidential threshold 20%, perlu tambahan. Yang paling memungkinkan, ya Nasdem. PKB sendiri, akan menjadi swing party.
Jika konfigurasi ini terjadi, maka Agus Harymurti Yudhoyono (AHY) akan dipasangkan dengan AB.
Dari dua skenario diatas, apakah yang berlaga di 2024, akan ada dua atau tiga calon pasangan?
Saya lebih condong untuk memilih akan ada dua calon pasangan saja. Yaitu, Ganjar/Puan VS Anies/Sandiaga.
Dititik ini, jika pertarungannya seperti ini, sebaiknya Mega dengan Pdip nya, berpikir lebih jernih dan lebih realistis lagi. Itu pun jika ingin lebih memastikan guna meraih hattrick Pilpres maupun Pileg nya. Sukses ketiga kalinya.
Sebaiknya, Ganjar dipasangkan dengan Erick Tohir.
Tentu akan asyiiik menonton kontestasi Pilpres, yang diatas panggung, akan ada 4 generasi baru. GP/ET VS AB/Sandi.
Apapun itu, tentu kita semua berharap, agar semua pihak menghindari dan menjauhkan diri dari politik identitas.
Dan, sosok-sosok penting yang menjadi King Maker’s, tetap seperti pilpres yang kemarin-kemarin. Yaitu; Mega, Jokowi dan Prabowo. Khususnya Jokowi, endorse dari nya, akan menjadi faktor penting meraup suara pemilih, secara signifikan.
Sedangkan koalisi, semacam semut-merah (PKB & PKS), bahkan KIB itu pun, tak lebih dan tak kurang, hanyalah gimmick foolitik.
Sekadar ramai-ramai potong padi, di sore hari.