Honorer Fiktif DPRD Provinsi Kepri itu ‘Bancaan’ Pimpinan

0
99
Cak Tain sebut pernyataan Pernyataan Romli Atmasasmita Konyol dan tendensisus

SuryaNews Jakarta-Honorer fiktif DPRD Provinsi Kepri tahun 2021, 2022 dan 2023 menjadi ‘bancaan’ pimpinan dan anggota dewan sepanjang tahun itu. Ada yang digunakan dengan memasukkan Asisten Rumah Tangga (ART), sopir pribadi, tukang ojek, tukang kebun dan tukang kandang. Bahkan urusan simpanan pun dibiayai menggunakan anggaran honorer fiktif tersebut yang dihandle pejabat sekretaris dewan.

Demikian disampaikan oleh Ketua LSM Kodat86, Cak Ta’in Komari SS kepada media melalui siaran persnya (6/2). “Berbagai modus dipakai untuk mencairkan anggaran honorer tersebut, ya kalau dibilang fiktif berarti cuma ada namanya tapi tidak bekerja,” katanya.

Menurut Cak Ta’in, secara subtansial kasus dugaan korupsi honorer fiktif di sekretariat DPRD Provinsi Kepri berjumlah 605 orang selama 3 tahun itu sudah memenuhi unsur untuk ditingkatkan status menjadi penyidikan, menerbitkan SPDP menetapkan tersangka. Dua alat bukti yakni honorer fiktif dan keterangan saksi-saksi itu sudah cukup kuat.

“Tindak pidana korupsi itu substansi perbuatannya memenuhi unsur atau belum, bukan soal angka yang dikorupsi. Persoalan honorer fiktif itu subtansinya sudah masuk memenuhi unsur Tipikor.” Jelasnya.

Kasus dugaan honorer fiktif diungkap penyidik Polda Kepri melalui Dirkrimsus menjelang akhir tahun 2023 semasa dijabat Kombes Pol Nasriadi. Semenjak pergantian Kapolda dan Dirkrimsus Polda Kepri, kasus honorer fiktif belum pernah dieksposs lagi perkembangannya. Padahal publik menanti dan berharap akhir dari proses hukumnya ke pengadilan Tipikor.

“Dibutuhkan keberanian dan keseriusan penyidik dan Kapolda Kepri, untuk melanjutkan proses hukum honorer fiktif. Seharusnya Polda Kepri sudah bisa menetapkan tersangka, karena unsurnya sudah memenuhi,” papar Cak Ta’in.

Mantan Dosen Unrika Batam itu menekankan, substansi materi hukumnya sudah terpenuhi, persoalan angka kerugian negara, penyidik bisa segera mengajukan audit kepada BPKP setelah penerbitan SPDP. “Setiap permohonan audit tentu ada alasan kepentingan hukumnya, kalau soal angka kerugian itu paling gampang dapatnya, apalagi penyidik memberikan data hasil penyelidikan dan investigasi sebagai bahan perhitungan audit,” ucapnya.

Cak Ta’in mengungkapkan ada temuan baru pada sebuah kafe diduga milik salah satu pejabat sekretariat DPRD Provinsi Kepri yang beberapa pegawai dimasukkan dalam daftar honorer fiktif tersebut. Permainan orang-orang sekretariat karena mereka umumnya memegang rahasia pribadi anggota dewan sehingga tidak berani memprotesnya.

“Ini persoalan krusial, karena bukan saja menyangkut korupsi tetap lebih dari itu soal moral dan mental. Mereka memanfaatkan sehingga dimanfaatkan. Selain sandera. Maka kasus ini akan menarik kalau dibuka sampai tuntas,” tegas Cak Ta’in.

Untuk itu, Cak Ta’in menyarankan Polda Kepri untuk segera melanjutkan proses hukum honorer fiktif tersebut. Kasus yang sudah berjalan sejak beberapa bulan lalu itu seolah mengendap tidak akan berlanjut. “Kita lihat perkembangan dalam beberapa pekan ke depan, karena saat ini semua pihak sedang fokus pemilu, apakah Polda Kepri bakal melanjutkan atau tidak. Kita siap melaporkan ke KPK karena status di Polda Kepri masih sebatas penyelidikan. Habis pemilu lah keputusannya nanti,” tambah Cak Ta’in.