Instruksi Kapolres Sidoarjo “Tembak di Dada” Dinilai Ngawur dan Berbahaya

0
576

Jakarta, Suryanews.co.id – “Kalau ada pelaku kejahatan main-main, menjadikan wilayah Sidoarjo untuk dijadikan tempat melakukan kejahatan,” kata Kapolresta Sidoarjo Kombes Pol Sumardji, Selasa (21/4/2020), “saya perintahkan tembak di tempat.” Sumardji menginstruksikan demikian ke para anak buahnya selama Sidoarjo menerapkan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) untuk menekan angka penyebaran COVID-19.

PSBB Sidoarjo disetujui Menteri Kesehatan Terawan Agus Putranto pada Selasa 21 April, dan berlaku efektif hari ini (24/4/2020). Instruksi “tembak ditempat” lantas dipertegas: “Jangan kakinya, dadanya [yang di]tembak. Apalagi residivis, kalau ada yang dapat remisi, asimilasi, melakukan kejahatan, itu nomor satu. Hajar duluan.”

Residivis yang Sumardji maksud adalah mereka yang mendapat program asimilasi dan integrasi dari Kementerian Hukum dan HAM. Beberapa di antara mereka memang kembali berulah. Hingga 21 April, ada 28 narapidana bebas kembali melakukan tindak pidana seperti mencuri, menipu, dan menganiaya.

Tak Taat Prosedur Instruksi “tembak di tempat di bagian dada” ala Kapolres Sumardji ini, menurut Hibnu Nugroho, guru besar bagian hukum acara pidana dari Fakultas Hukum Universitas Jenderal Soedirman, tidak sesuai prosedur. “Biasanya [diberi] peringatan dahulu. Tapi kalau sudah membahayakan, demi hukum, boleh [tembak di tempat]. Apalagi demi keamanan dan ketertiban masyarakat,” ujar Hibnu, dikutip dari Tirto.id (23/4/2020).

Hal serupa dikatakan Karopenmas Mabes Polri Brigjen Pol Argo Yuwono. “Pelaku kejahatan yang membahayakan nyawa petugas dan orang lain, bisa dilakukan tindakan tegas dan terukur,” katanya. Peringatan yang dimaksud adalah Pasal 5 Peraturan Kapolri Nomor 1 Tahun 2009 tentang Penggunaan Kekuatan dalam Tindakan Kepolisian.

Ada enam tahapan penggunaan kekuatan dalam tindakan kepolisian, yakni: kekuatan yang memiliki dampak pencegahan; perintah lisan; kendali tangan kosong lunak; kendali tangan kosong keras; kendali senjata tumpul atau senjata kimia antara lain gas air mata, semprotan cabai, atau alat lain sesuai standar; dan terakhir kendali dengan menggunakan senjata api atau alat lain yang menghentikan tindakan atau perilaku pelaku kejahatan atau tersangka yang dapat menyebabkan luka parah atau kematian anggota Polri atau anggota masyarakat.

Pasal 5 ayat (2) menegaskan polisi harus menggunakan kekuatan sebagaimana tahapan di atas, sesuai tingkatan bahaya ancaman dari pelaku atau tersangka dengan memperhatikan prinsip-prinsip sebagaimana dimaksud dalam pasal 3.

Komisioner Komisi Kepolisian Nasional Poengky Indarti juga menegaskan apa yang dikatakan Sumardji tidak sesuai dengan peraturan. Menurutnya yang perlu diutamakan adalah tindakan preventif, misalnya mendata para narapidana asimilasi, memetakan tempat rawan kejahatan, serta penggunaan IT dan peralatan modern untuk pemantauan. Polisi juga dapat menggiatkan patroli dan razia. “Jika masih ada yang melawan, hingga dampaknya dapat membahayakan nyawa petugas maupun orang di sekitarnya, maka anggota diperbolehkan menggunakan tindakan tegas terukur, termasuk menembak untuk melumpuhkan,” kata Poengky. Tentu saja, dalam melaksanakan tindakan tersebut semua polisi harus tetap berpedoman pada standar operasional prosedur yang tercantum di Peraturan Kapolri Nomor 1 Tahun 2009 tentang Penggunaan Kekuatan dalam Tindakan Kepolisian dan Peraturan Kapolri Nomor 8 Tahun 2009 tentang Implementasi HAM. Poengky lantas mengatakan pernyataan Kapolres Sidoarjo “sudah kami koreksi dengan cara menyampaikan kepada pimpinan Polri.” Pimpinan Polri yang menurutnya akan segera “menegur dan mengarahkan yang bersangkutan.(Tirto/Red)