Jambi, Suryanews.co.id — Bagi Orang Rimba di Jambi, cerita wabah sudah menjadi bagian dari keseharian mereka. Apalagi wabah corona (Covid-19) yang menghantui dunia, termasuk Indonesia sejak awal tahun ini.
Dengan pola hidup di dalam perkebunan dan hutan dalam sudung (tenda plastik), mereka sangat rentan dengan berbagai penyakit. Dari pola hidup inilah lahir kearifan mereka untuk menghentikan wabah yakni yang mereka sebut bersesandingon.
Antropolog dari KKI Warsi, Robert Aritonang, mengatakan bersesandingan adalah memisahkan orang yang sakit dengan orang yang bungaron (sehat).
Ketika orang rimba terserang betuk (batuk), selemo (pilek), muntah bingguk (muntaber), cacar air, campok (campak), muntah darah, diare dan penyakit menular lainnya, dengan cepat komunitas ini membuat pemisah.
“Cara alami yang ditempuh Orang Rimba untuk mengarantina diri dari penularan penyakit,
Ia mengatakan orang yang sakit posisinya ketika dipisahkan ini disebut bercenenggo.
Dalam aturan sesandingon dan cenenggo ini, tidak hanya berlaku ketika ada penyakit menular. Ketika ada Orang Rimba yang melakukan perjalanan ke luar rimba dan ingin kembali ke keluarganya di rimba juga kena pasal sesandingon.
“Waktunya tiga hari. Aturan ini juga berlaku jika ada tamu datang,” katanya.
Orang rimba akan menunjuk tempat yang berjarak sekitar 100 meter dari rumah terluar mereka untuk tempat bermukim sementara. Setelah tiga hari andai tamu tidak sakit, maka diizinkan untuk berkunjung ke kelompok.
Robert mengatakan untuk bercenenggo adalah hasil keputusan Tumenggung atau inisiatif sendiri dari si sakit.
“Selama sesandingon biasanya dilakukan bersama keluarga intinya,” kata dia.
Itu dilakukan dengan anggapan bahwa keluarga inti juga diduga telah terpapar penyakit dari si sakit.
Jika belum terlalu sakit dan masih bisa beraktivitas, sudung untuk tempat tinggal akan dibangun keluarga inti. Jika sudah tidak mampu, sudung itu dibangunkan anggota kelompok
Robert menjelaskan, sudung yang dibuat biasanya berjarak sekitar 100 meter dari sudung terluar anggota kelompok lainnya. Jalan yang mereka lalui untuk ke tempat bercenenggo ini harus jalan baru, tidak diizinkan melewati jalan yang biasa dilalui anggota kelompok yang bungaron (sehat).
Untuk berkomunikasi dengan keluarga yang sakit ini, Orang Rimba menerapkan pembatasan sosial (sosial distancing) yang ketat.
“Minimal mereka akan berjarak 10 meter,” ujar Sudung.
Cara berkomunikasi pun dilakukan bersesalungan. Bersesalungan adalah berbicara jarak jauh dengan intonasi suara keras.
Sementara itu, pasokan pangan pada anggota kelompok yang sedang sakit menjadi tanggung jawab Tumenggung dan anggota kelompok yang sehat alias bungaron.
Cara menyerahkannya pun sesuai dengan aturan kesehatan. Tidak boleh bersentuhan langsung. Makanan diantar ke titik tengah, si pengantar akan bersesalungon, memanggil. Si sakit atau keluarga intinya yang akan mengambil ke titik itu. Tanpa ada pertemuan sama sekali.
Aturan lainnya tidak boleh melintasi lokasi tinggal orang yang sehat, tidak boleh mengambil air di pencibukon (sumber air) yang sama dengan dengan yang sehat.
Robert mengatakan aturan tersebut sudah dijalankan dan ditaati Orang Rimba sejak zaman nenek moyang mereka, jauh sebelum Undang Undang Karantina Kesehatan dikeluarkan pemerintah Indonesia.
Meskipun demikian, menurut Robert, relatif tak ada pelanggaran atas ketentuan adat tersebut. Masing-masing pihak yang bersesandingon maupun yang bercenenggo sangat menyadari posisi mereka masing-masing.
Aturan adatnya juga sangat jelas. Jika ada yang melanggar, bakal dihukum denda adat. Besaran denda ditentukan berdasarkan sidang adat yang dipimpin Tumenggung. (Dok. Warsi/Red)