Jakarta l suryanews.co.id-Penetapan Sekjen PDIP Hasto Kristiyanto sebagai tersangka KPK melalui SPDP bernomor Sprin.Dik/153/DIK.00/
01/12/2024 tertanggal 23 Desember 2024 menarik dicermati. Hasto disebutkan menjadi tersangka terkait dengan Harun Masiku yang sudah dinyatakan buron sejak 2019.
Ekspose perkara kabarnya dilakukan pada 20 Desember 2024 atau setelah pimpinan baru KPK mengucapkan sumpah jabatan di hadapan Presiden Prabowo Subianto. SPDP ditandatangani oleh Direktur penyidikan KPK Asep Guntur Rahayu.
Berbagai pihak memberikan tanggapan, terutama dari PDIP yang menuding KPK telah politisi posisi Hasto sebagai sekjen partai. Bahwa penetapan tersangka itu diduga terjadi lantaran PDIP yang tidak mau bergabung dalam kekuasaan, bahkan menentang kebijakan kenaikan PPN 12 persen pada 2025 nanti. Atau mungkin imbas dari keputusan partai yang baru memecat sejumlah kadernya yang dianggap mbalelo.
Tanggapan juga disampaikan Ketua Kelompok Diskusi Anti 86 (Kodat86) Cak Ta’in Komari yang disampaikan kepada media Selasa (24/12. Menurut Cak Ta’in, penetapan tersangka Hasto Kristiyanto masih bersifat ambigu, di mana disebutkan terkait Harun Masiku, namun sejauh ini Harun Masiku masih belum ditangkap KPK. Kasusnya sendiri telah terjadi sejak tahun 2019, beberapa saat setelah pemilu usai.
“Kalau Hasto menjadi tersangka dikaitkan dengan Harun Masiku, tentu menjadi tanda tanya, di mana Harun Masiku nya. Ya kan aneh kalau tersangka utamanya masih buron, sementara pihak lain dikaitkan dengan perkara dan langsung dinyatakan sebagai tersangka,” katanya.
Menurut mantan dosen dan wartawan itu, penetapan tersangka tentu perlu dipenuhi dua alat bukti sebagai persyaratan sebagaimana diatur KUHAP. Salah satu bukti tentu keberadaan Harun Masiku sebagai bukti, kecuali sudah ditangkap dan menyatakan bahwa suap terhadap Komisioner KPU, Wahyu Setiawan, diatur dan dilakukan oleh Hasto.
“Sebelum proses berlanjut, saya pikir akan menarik untuk dilakukan uji publik dengan melakukan praperadilan atas terbitnya SPDP terhadap Hasto tersebut. Kira-kira alat bukti apa yang dimiliki KPK sehingga menetapkan Hasto sebagai tersangka.” urainya.
Cak Ta’in menegaskan, pihaknya bukan tidak mendukung pemberantasan korupsi, sebagai aktivis anti korupsi, dirinya sangat mendukung upaya pemberantasan korupsi baik oleh KPK maupun Kejaksaan dan Kepolisian. Tapi prosesnya bukan dijadikan untuk kepentingan kekuasaan. Di mana masih banyak kasus besar yang harusnya menjadi fokus pemberantasan korupsi tapi tidak berjalan tuntas bahkan tidak diproses, terutama terkait pertambangan, perpajakan dan mega proyek yang menyimpan. Selain itu, diperkirakan ada ratusan bahkan ribuan laporan kasus dugaan korupsi di pusat maupun daerah yang tidak ditindaklanjuti KPK selama ini.
“Pemberantasan korupsi, selain menghukum pelakunya, lebih urgen menyelamatkan uang negara yang dikorupsi agar bisa dikembalikan, ditambah denda yang berat. Makanya perlu perangkat hukum dengan UU perampasan aset yang tidak dibahas-bahas RUU-nya di DPR RI. Kabarnya justru dari pemerintah yang tidak bergerak untuk pembahasan tersebut. Koruptor itu harus ditindak tegas, asetnya disita yang tidak bisa dijelaskan asal-usulnya, tapi perlu perangkat hukumnya,” jelasnya.
Kembali pada persoalan penetapan Hasto, lanjut Cak Ta’in, itu jika kaitannya dengan Harun Masiku. Sementara jika dikaitkan dengan mantan Komisioner KPU Wahyu Setiawan yang sudah divonis 7 tahun penjara pada tahun 2019, mengapa selama proses Wahyu Setiawan, Hasto tidak pernah dipanggil dan diperiksa KPK, dan mengapa baru diproses setelah 5 tahun berlalu. “Jadi ya wajar kalau ada yang merasa penetapan tersangka ini politis,” ujar Cak Ta’in.
Wahyu Setiawan bersama Agustiani terbukti menerima uang sebesar SGD 19 ribu dan SGD 38.350 atau setara dengan Rp 600 juta lewat Saeful Bahri. Suap tersebut diberikan agar Wahyu dapat mengupayakan KPU menyetujui permohonan PAW anggota DPR Dapil Sumatera Selatan I dari Kiemas yang meninggal dunia, PAW seharusnya kepada suara terbanyak kedua namun dibuat aturan KPU, PAW diserahkan kepada partai berangkatnya sehingga bisa memberikan kursi itu kepada Harun Masiku.
“Apa kiranya peran Hasto dalam kasus Wahyu dan Harun Masiku tersebut, kalau kapasitasnya hanya sebagai sekjen yang membuat kebijakan partai, atau berperan langsung dalam proses suap menyuap tersebut.” pungkas Cak Ta’in. ***
