SuryaNewsBojnegoro -Aksi borong partai oleh sejumlah kandidat calon kepala daerah pada pilkada 2024, akan memunculkan fenomena baru. Calon tunggal dalam pilkada yang terbangun secara simultan, terstruktur, sistemik dan massif bakal memunculkan perlawanan dari masyarakat. Calon tunggal bukan jaminan bakal menang mudah melawan kotak kosong.
Kemenangan kotak kosong telah terjadi beberapa kali di Indonesia. Salah satunya pilwako Makasar tahun 2018 – di mana calon tunggal kalah melawan kotak kosong dengan perolehan suara 44-56 persen. Potensi kemenangan kotak kosong itu bakal menjadi dinamika politik yang melekat di rakyat.
Demikian disampaikan Ketua Forum Kedaulatan Masyarakat Bojonegoro (FKMB) sekaligus ketua Lembaga Transparansi Anggaran dan Anti Korupsi Indonesia (Lemtaki) Edy Susilo SSos kepada media Rabu (7/8). “Calon tunggal yang melawan kotak kosong belum tentu menang mudah, bahkan bisa kalah. Sekarang mulai terbangun stigma politik baru. Menang Kotak Kosong merupakan wujud kemenangan rakyat sesungguhnya.” katanya.
Menurut Edy, masyarakat yang masih mayoritas bersikap pragmatis, mungkin bakal tetap datang ke TPS, tapi pilihannya akan dijatuhkan pada kotak kosong. “Jika mereka tidak mendapatkan apa-apa dari calon yang ada, maka mereka akan melawan dengan memilih kotak kosong,” ujarnya.
Aksi borong partai, seperti yang didengungkan pasangan Wahono-Nurul pada pilkada Bojonegoro, tentu membuat geram masyarakat. Kabarnya setelah mendapatkan hampir dukungan semua partai, mereka masih ngotot untuk bisa mendapatkan PKB, dengan begitu praktis tinggal PDIP namun tak kan bisa mengusung calon Karena kurang syarat. Rakyat dibuat tidak ada pilihan, dan demokrasi dimatikan. Kekuasaan pemerintahan ke depan juga cenderung menjadi semakin absolut, padahal negara bukan sistem kerajaan yang bersifat monarki.
“Demokrasi pada yang wujudnya pemilu dan pilkada adalah panggung kontestasi. Tentu peserta lebih dari satu, kalau tunggal bukan demokrasi namanya. Calon yang tidak berani bertarung, makanya dibuat calon tunggal supaya bisa menang tanpa perlawanan.” jelasnya.
Lebih lanjut Edy menjelaskan, justru dengan membuat pilkada calon tunggal, terjadi kristalisasi perlawanan rakyat untuk memenangkan kotak kosong. Tidak ada bedanya memenangkan calon tunggal, dengan memenangkan kotak kosong, lalu kepala daerah dijabat pj.
“Persoalan muncul memang, jika calon tunggal, siapa saksi dari kotak kosong. Potensi terjadi kecurangan sangat besar. Masyarakat bisa jadi relawan saksi kotak kosong, yang nanti afiliasinya ke Bawaslu sebagai pengawas pemilu, atau kelompok masyarakat akan membentuk pengawas independen.” terangnya.
Edy menambahkan, apa yang terjadi di Pilwako Makasar tahun 2018 lalu, menjadi referensi untuk memenangkan kotak kosong. Lebih dari itu, secara nasional, kelompok masyarakat peduli telah membentuk gerakan bersama untuk melawan fenomena yang dibangun kekuasaan dengan pilkada calon tunggal.
“Beberapa pihak justru menyarankan tidak usah dilaksanakan pilkada kalau calon tunggal, supaya tidak buang-buang duit negara. Mending langsung tunjuk dan Lantik saja. Otonomi daerah dibubarkan.” tambah Edy. ***