Legislator Mempertanyakan Efektivitas Pecahan Uang Rp75 Ribu

0
484

Jakarta, SURYANEWS.CO.ID – Peringatan Hari Kemerdekaan Negara Republik Indonesia yang ke-75 dimanfaatkan Bank Indonesia dengan mengeluarkan uang pecahan baru yakni Rp75.000.

Heri Gunawan anggota Komisi XI fraksi partai Gerindra menjelaskan, dari sisi patriotisme, langkah BI patut diapresiasi sebagai bagian untuk memeriahkan peringatan ulang tahun kemerdekaan. Namun dari sisi ekonomi patut dipertanyakan efektifitasnya dalam mendorong perbaikan ekonomi terutama untuk memulihkan perekonomian yang saat ini sedang di ambang resesi akibat adanya pandemi Covid-19.

“Patut diakui bahwa semenjak adanya Pandemi Covid-19 Bank Indonesia sudah besar konstribusinya dalam upaya memulihkan perekonomian nasional,” ujar Heri di Jakarta, Selasa (18/8/2020)

Menurut dia, langkah-langkah yang sudah dilakukan Bank Indonesia di antaranya menurunkan suku bunga acuan BI7DRR hingga ke level 4 persen, melakukan quantitative easing sebesar Rp633,24 triliun per 14 Juli 2020, menjadi pembeli SBN di pasar perdana, dan mengikuti program burden sharing dengan pemerintah.

Namun sayangnya, kata Heri, upaya-upaya yang dilakukan oleh Bank Indonesia bersama Pemerintah dan lembaga terkaitnya gagal menahan minusnya pertumbuhan ekonomi pada kuartal II 2020.

“Sebagaimana yang diumumkan oleh BPS bahwa perekonomian Indonesia pada kuartal II 2020 dinyatakan minus 5,32 persen. Bahkan sejumlah pihak memprediksi tren kurang menggembirakan tersebut akan berlanjut ke kuartal III 2020. Akankah Indonesia masuk jurang resesi?” ujar Heri bertanya.

Idealnya, kata Heri, semua pihak–termasuk Bank Indonesia–harus fokus pada permasalahan tersebut. Bagaimana caranya memulihkan perekonomian agar tidak masuk ke dalam jurang resesi. Capaian perekonomian pada kuartal III 2020 tidak hanya menentukan masuk tidaknya Indonesia dalam jurang resesi tapi sangat penting juga dalam rangka menjaga keberlanjutan perbaikan ekonomi untuk memasuki tahun 2021. Bila pada kuartal III 2020, perekonomian masih menunjukkan kinerja yang buruk maka ke depan akan semakin berat untuk memulihkannya.

Kembali pada agenda Bank Indonesia yang akan melaunching uang pecahan Rp75.000, apakah akan efektif ataukah sebaliknya menjadi kontraproduktif dalam upaya pemulihan perekonomian nasional. Apalagi di luar konteks pemulihan perekonomian, telah disiapkan agenda-agenda besar, misalnya, redenominasi rupiah Rp1.000 menjadi Rp1 dan perluasan penggunaan uang elektronik. Maka perlu dikaji secara mendalam apakah agenda lauching uang pecahan Rp75.000 hanya semata untuk simbolik meramaikan peringatan Kemerdekaan RI ke-75 ataukah akan dilempar ke masyarakat.

Kata dia, bila uang baru tersebut akan dilempar ke masyarakat, maka perlu dikaji dampak positif dan negatif yang akan ditimbulkannya. Pertama, uang baru akan membutuhkan proses produksi. Bila produksinya di dalam negeri maka akan baik untuk perekonomian, setidaknya sektor percetakan akan menerima manfaatnya. Namun bila dicetak di luar negeri maka keuntungan tersebut akan dinikmati oleh percetakan asing.

Kedua, perbankan harus menyesuaikan berbagai instrumen untuk menyambut uang baru tersebut. Ada beban biaya yang harus disiapkan misalnya menyangkut IT pada ATM harus bisa menerima pecahan Rp75.000. Bila biaya yang ditanggung perbankan cukup besar maka bisa dijadikan alasan untuk makin lama menurunkan suku bunga pinjaman karena adanya penambahan beban biaya tersebut. Padahal salah satu kendala pemulihan perekonomian adalah keengganan perbankan untuk segera menurunkan suku bunga pinjaman mengikuti penurunan suku bunga acuan BI7DRR yang sudah diturunkan oleh Bank Indonesia ke level 4 persen.

Ketiga, launching Rp75.000 bisa mengganggu agenda redenominasi rupiah. Pemerintah telah menyiapkan Rancangan Undang-Undang tentang Perubahan Harga Rupiah (RUU Redemoninasi). Rencana tersebut tertuang dalam Rencana Strategis (Renstra) Kemenkeu 2020-2024 yang tercantum dalam Peraturan Menteri Keuangan (PMK) No. 77/2020. Urgensi redenomisasi adalah menimbulkan efisiensi perekonomian berupa percepatan waktu transaksi, berkurangnya risiko human error, dan efisiensi pencatuman harga barang/jasa karena sederhananya jumlah digit rupiah. RUU Redenominasi ditargetkan akan selesai pada 2020-2024. Kehadiran pecahan Rp75.000 akan semakin menambah banyak mata uang yang akan diredenominasi sehingga otomatis akan semakin membengkaknya biaya.

Keempat, tidak sejalan dengan perkembangan transaksi non-tunai. Pada 17 Agustus 2019 Bank Indonesia meluncurkan QR Indonesia Standard (QRIS) dan mulai diterapkan secara menyeluruh pada 1 Januari 2020. Hal tersebut dilakukan untuk menyambut dinamika pembayaran non-tunai yang semakin marak dilakukan masyarakat baik melalui uang elektronik maupun melalui aplikasi. Praktik pembayaran non-tunai telah diterapkan di berbagai tempat, bahkan ada yang sifatnya wajib yakni pembayaran di gerbang tol. Seharusnya Bank Indonesia konsisten dengan program digitalisasi alat pembayaran. Kehadiran uang pecahan Rp75.000 hanya akan menghambat perkembangan penggunaan uang digital yang sudah setahun ini digalakkan oleh BI.

Kesimpulannya, menurut Heri, secara simbolik peluncuran uang pecahan Rp75.000 sangat baik menyambut momentum kemerdekaan yang ke-75. Capaian pembangunan selama 75 tahun patut dirayakan dengan kehadiran hal-hal baru, di antaranya uang pecahan Rp75.000. Namun dalam momentum Pandemi Covid-19, kehadiran uang baru Rp75.000 masih perlu dikaji efektivitasnya dalam mendorong pemulihan ekonomi. Dari pemaparan di atas tampaknya kehadiran uang baru lebih banyak kontraproduktifnya dibanding unsur kemanfaatannya.(Ant/Red)