Lemtaki: Bakal ada Gelombang Gerakan Nasional Menolak Pilkada Calon Tunggal Lawan Kotak Kosong !

0
111
Edy Susilo

 

SuryaNews Jakarta-Fenomenal pilkada dengan calon tunggal menyeruak di hampir semua daerah secara nasional. Hegemoni kekuasaan bergerak centralistik menjadi kekuasaan absolut. Demokrasi yang dibangun melalui gerakan reformasi menjatuhkan Presiden Soeharto tahun 1998 seolah menjadi sia-sia.

Pemilu yang diikuti banyak partai bukan membangun hirarki demokrasi tapi hanya untuk mengakomodir bagi-bagi kekuasaan. Demokrasi yang hakekatnya, dari rakyat, oleh rakyat untuk rakyat musnah dibunuh dengan hegemoni kekuasaan absolut. Partai-partai yang harusnya bersaing tunduk pada pertanian kekuasaan sebagai terjadi selama era orde baru.

Demikian disampaikan Ketua Lembaga Transparansi Anggaran dan Anti Korupsi Indonesia (Lemtaki), Edy Susilo SSos kepada media, Senin (5/8). “Kita sedang dibawah ke arah pemerintahan absolut, kekuasaan sentralistik.” ujarnya.

Menurut Mahasiswa Magister Hukum Unitomo Surabaya, demokrasi harusnya memberikan ruang persaingan secara sehat dan fair. Semestinya partai politik dengan ideologi dan azas masing-masing mempertahankan koridor yang sudah dibangun sebelumnya. Tidak ada partai politik yang secara garis pemilu menjadi pesaing masuk dalam koalisi pemerintahan.

“Fenomena pilkada bakal calon tunggal melawan kotak kosong itu bukan hanya berpotensi terjadi di Bojonegoro, tapi hampir semua daerah. Sumut, Kepri, Batam, Bintan, bahkan Anies Rasyid Baswedan yang menjadi ikon pemimpin perubahan di DKI Jakarta kabarnya mulai ditinggalkan partai, juga terancam tidak bisa mencalonkan diri.” jelasnya.

Lebih lanjut Edy menekankan, Lemtaki yakin secara nasional juga sudah mulai muncul gerakan untuk menolak pilkada dengan calon tunggal. Itu jelas membunuh demokrasi. Para akademisi, praktisi dan aktivis mulai mengkonsolidasikan diri untuk menyelamatkan demokrasi reformasi. Beberapa forum dialog interaktif sudah mulai digelar di mana-mana, yang intinya bakal menolak fenomena pilkada calon tunggal.

“Jika semua partai hanya tunduk pada satu partai penguasa, buat apa ada banyak partai. Buat apa dilaksanakan pemilu dan buat apa ada pilkada. Kalau mau dibuat pemerintahan sentralistik, hapus saja otonomi daerah, kepala daerah ditunjuk dan langsung dilantik saja, tidak menghabiskan uang negara,” urainya.

Secara spesifik Edy yang juga Ketua Forum Kedaulatan Masyarakat Bojonegoro (FKMB) itu berpesan bagi masyarakat Bojonegoro melihat fenomena itu tidak lazim. Tapi semua tergantung kepada masyarakat Bojonegoro dan Indonesia umumnya, apakah menerima pilkada settingan pusat atau melawan. “Semua kembali pada rakyat juga kalau mau menerima itu,” tambah Edy. ***