SuryaNews Jakarta-Lembaga Transparansi Anggaran dan Anti Korupsi Indonesia (Lemtaki) mengharap Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) menjadi katalisator penyelamat demokrasi yang mau mati. Ada fenomena partai-partai tersandera dan tunduk pada partai penguasa yang terikat kasus maupun jabatan. Menjelang pelaksanaan pilkada serentak pada 26 November 2024, hampir semua partai tunduk dan patuh arus dan arah partai penguasa, Gerindra dan Golkar. Beberapa daerah terancam hanya diikuti calon tunggal melawan kotak kosong, sebut saja Pilwako Batam, Pilbup Bintan dan Pilgub Kepri.
Hanya dua partai yang potensi berada di luar kelompok pemerintahan itu, yakni PDIP dan PKB. Sayangnya PDIP tidak memiliki perolehan suara cukup mandiri di beberapa daerah, kecuali mungkin basis PDIP seperti Jawa Tengah dan Bali. Sementara PKB yang selalu berada pada koalisi pemerintahan dan memiliki basis pemilih di Jaw Timur diharapkan berani mengambil posisi berseberangan dengan koalisi pemerintahan.
“Kami melihat demokrasi terancam mati, kalau gerakan partai koalisi pemerintahan tidak ada perlawanan atau penyeimbang. PDIP sudah pernah pada posisi tersebut, tapi pernah berkuasa dalam pemerintahan. Jadi yang paling ideal saat ini yang diperankan oleh PKB,” kata Ketua Lemtaki Edy Susilo SSos kepada media Rabu (31/7).
Menurut Edy, PDIP menjadi lambang perlawanan hegemoni kekuasaan politik masa orde baru. Pada pemilu awal reformasi tahun 1999, PDIP menjadi pemenang dengan 33 persen di antara puluhan partai baru yang bermunculan. “PDIP menjadi lambang perlawanan saat itu dan menjadi pemenang pemilu.” ujarnya.
Edy menjelaskan, posisi sebagai lambang perlawanan itu saat ini bisa diambil oleh PKB. Di mana, partai yang berbasis muslim NU itu, menyemat darah pejuang dan perlawanan sebagaimana terjadi perang melawan sekutu di Surabaya. Jiwa perlawanan itu ada dalam setiap orang ketika melihat bentuk demokrasi yang tersentral seperti era orde baru.
“Saya yakin, Cak Imin dengan PKB-nya tidak takut berada di luar koalisi pemerintahan. Pilkada dengan kotak kosong di beberapa daerah itu menjadi pertanda bakal matinya demokrasi. Mesti ada partai yang melawan ini, posisi itu hanya potensi dilakukan PKB dan PDIP.” jelasnya.
Lebih lanjut Mahasiswa Magister Hukum Unitomo Surabaya itu menekankan, dengan PKB menjadi lambang perlawanan hegemoni kekuasaan maka potensi PKB bakal memenangkan pemilu pada 2029 mendatang sangat besar. Tokoh dan partai yang bergerak kontra pemerintah cenderung didukung oleh rakyat. “Peran itu saatnya Cak Imin dan PKB ambil untuk kepentingan 5 tahun mendatang,” pesan Edy.
Ditambahkan, Edy melihat ada perbedaan posisi antara PKB dengan PDIP saat ini. PDIP sudah pernah berkuasa saat Megawati menjadi Presiden RI, kemudian dilanjutkan pada era Joko Widodo yang juga sebagai representasi perlawanan hegemoni kekuasaan, bahwa pemimpin tidak perlu kelas borjuis tapi bisa dari kalangan ‘wong deso’. Secara paradigma membangun stigma bahwa siapa saja bisa menjadi pemimpin Indonesia di masa mendatang. PKB meski pernah berkuasa sebentar di era Presiden Abdurrahman Wahid alias Gus Dur, tapi tidak begitu melekat.
“PKB harus menjadi penyelamat demokrasi, saat ini bisa berkolaborasi dengan PDIP yang jelas telah menyatakan berada di luar pemerintahan. Terutama untuk basis Jaw Timur dan kantong PKB maupun PDIP dari demokrasi sentralistik yang sedang diperankan Gerindra dan Golkar saat ini. Ini bahaya bagi demokrasi bangsa yang sudah dibangun puluhan tahun,” tambah Edy. ***
