Lemtaki Minta Kapolri Atensi Penindakan Tambang Ilegal di Indonesia

0
2866
Edy Susilo

 

SuryaNews Jakarta-Lembaga Transparansi Anggaran dan Anti Korupsi Indonesia (Lemtaki) minta Kapolri Jenderal Pol. Listyo Sigid Prabowo memberikan atensi untuk penindakan tambang ilegal di seluruh Indonesia. Berdasarkan pantauan tambang ilegal hampir terjadi di banyak wilayah di Indonesia.

“Kita minta Kapolri mengatensi penindakan tambang ilegal di seluruh wilayah Indonesia. Laporan masyarakat sudah banyak disampaikan ke kepolisian namun tidak ada tindakan secara nyata, ” kata Ketua Lemtaki Edy Susilo kepada media (3/1)

Menurut Edy, aktivitas tambang ilegal marak terjadi di banyak tempat. Ada indikasi aparat penegak hukum di daerah dibuat tidak berdaya karena ada dugaan pemain tambang dibeckingi orang-orang di pusat. “Masalah tambang ilegal ini sudah bukan rahasia lagi, semua pihak tahu. Tapi tidak ada tindakan nyata dari aparat yang memiliki otoritas,” ujarnya.

Menurut Edy, Kapolri perlu membentuk tim gabungan bersama KLHK dan Kementerian ESDM agar persoalan tambang ilegal dapat diberantas secara tuntas. Perlunya kerja lintas lembaga agar masalah dapat segera dituntaskan.

Lebih lanjut Edy menjelaskan, tambang ilegal tersebut telah banyak merugikan negara dari banyak sisi; kerusakan lingkungan hidup, penggelapan pajak dan kerugian negara lainnya. “Ada banyak kewajiban dan tanggung jawab dalam aktivitas pertambangan yang tidak dijalankan. Tidak memberikan manfaat bagi masyarakat dan negara karena dijalankan secara ilegal,” tegas Edy.

Persoalan tambang ilegal yang sudah mencuat di publik dan perlu tindakan secepatnya, seperti yang terjadi pada tambang emas ilegal Cineam dan KarangJaya di Kabupaten Tasikmalaya; Tambang pasir kuarsa dan silica di Tuban, Lumajang, dan lainnya; tambang Batubara ilegal di Samarinda, dan lainnya. “Persoalan tambang ilegal ini seperti gunung es, makin dipanasin makin terbuka di mana-mana ada.” jelas Edy.

Maka Edy heran, mengapa pemerintah dan penegak hukum terkesan melakukan pembiaran, padahal jelas-jelas merugikan negara dan merusak lingkungan.
Bahwa usaha tambang punya kewajiban pembayaran pajak, pembagian deviden dan reklamasi atau rehabilitasi lingkungan bekas tambang (DJPL-Dana Jaminan Pengembalian Lingkungan), juga CSR atau DKTM yakni Dana Kompensasi Terhadap Masyarakat. Maka langsung atau tidak langsung terjadi kerugian negara yang diakibatkan tambang ilegal tersebut.

“Pengambil kebijakan yang melakukan pembiaran bisa dituntut dengan UU Tipikor, merugikan negara dan menguntungkan orang lain atau korporasi. Ada dugaan konspirasi antar instansi pemerintah, dan bagi-bagi hasil tambang, sehingga aktivitas ilegal berjalan lancar,” papar Edy.

Edy menekankan aktivitas tambang ilegal dipastikan melanggar Pasal 78 ayat (2) Jo Pasal 50 ayat (3) huruf a Undang-undang No.41 tahun 1999 tentang Kehutanan, sebagaimana telah diubah dalam Pasal 36 angka 19 Pasal 78 ayat (2) huruf a UU RI No.11 tentang Cipta Kerja jo Pasal 55 dan/atau Pasal 56 KUHPidana, dengan ancaman pidana penjara paling lama 10 tahun dan denda paling banyak Rp. 7,5 miliar.

“Sanksi pidana juga diatur dalam UU No.18 tahun 2013 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan, UU No.3 tahun 2020 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara, serta UU No.32 tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup.” jelas Edy.

Ditambahkan Edy, dalam Pasal 17 ayat (1) UU No.18 tahun 2013 menyatakan, setiap orang dilarang membawa alat-alat berat, melakukan kegiatan penambangan, mengangkut, membeli dan menjual hasil tambang di dalam kawasan hutan tanpa ijin Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan RI (KLHK). Bagi yang melakukan pelanggaran dapat dipidana penjara paling singkat 8 tahun dan paling lama 20 tahun, serta pidana denda paling sedikit Rp. 20 miliar dan paling banyak Rp. 50 miliar.

“Tambang ilegal sudah hampir dipastikan juga melanggar Pasal 161 UU No.3 tahun 2020, yakni setiap orang yang menampung, memanfaatkan, melakukan pengangkutan dan penjualan mineral yang berasal dari luar IUP dapat dipidana penjara paling lama 5 tahun dan denda paling banyak Rp. 100 miliar,” ucap Edy.

“Bahkan penambang pemegang IUP yang sengaja atau karena kelalaiannya mengakibatkan kerusakan lingkungan hidup, dalam Pasal 9 ayat (1) UU 32 tahun 2009 dapat dikenai sanksi pidana penjara paling singkat 3 tahun dan paling lama 6 tahun, dan denda paling sedikit Rp. 3 miliar dan paling banyak Rp. 10 Miliar.” tambahnya.

Untuk itu, Lemtaki akan menyurati dan melaporkan kepada Menkopolhukam Mahfud MD agar membentuk tim lintas lembaga negara dalam memerangi dan memberantas tambang ilegal tersebut. “Lingkungan hidup harus diselamatkan, juga kerugian negara. persoalan tambang ilegal ini harus menjadi atensi penegakan hukum,” kilahnya.***