Suryanews Jakarta Lembaga Transparansi Anggaran dan Anti Korupsi Indonesia (Lemtaki) menilai Dewan Pengawas (Dewas) KPK tidak berguna dan mubazir. Dewas hampir tidak memiliki kinerja apapun dalam menegakkan etik pada pimpinan KPK.
“Dewas gak ada gunanya bagus dibubarkan. Buang-buang anggaran tapi tidak memberikan kontribusi apapun dalam menegakkan etik dan marwah lembaga KPK,” kata Ketua Lemtaki Edy Susilo SSos kepada media (9/11)
Menurut Edy, lambannya Dewas KPK bertindak dan bersikap terhadap dugaan tindakan pelanggaran etik pimpinan KPK. Dicontohkan dalam kasus Firli Bahuri yang sejak muncul perkara di Polda Metro Jaya terkait dugaan pemerasan terhadap Mantan Menteri Pertanian Sahrul Yasin Limpo (SYL) pada awal Agustus 2023, Dewas gak melakukan apa-apa, hanya berusaha memanggil yang bersangkutan hadir.
“Kalau sekarang baru mau menyidang Ketua KPK non-aktif Firli Bahuri, ya gak ada gunanya ketika sudah ditetapkan Polda Metro Jaya sebagai tersangka pada 22 November lalu,” jelas Edy.
Lebih lanjut Edy menjelaskan, seharusnya Dewas KPK tidak perlu menunggu ada laporan dari masyarakat untuk memeriksa dugaan pelanggaran etik pimpinan KPK tersebut, tapi secara aktif. “Dalam kasus Firli, seharusnya jauh hari Dewas menon-aktifkan sebagai Ketua KPK agar tidak ada conflict of interest. Tapi semua terlambat.” ujarnya.
Selain itu, seharusnya Dewas sudah memanggil dan menyidangkan semua pimpinan KPK terkait selisih pandangan di publik soal penetapan pengusaha Muhammad Suryo sebagai tersangka oleh KPK oleh wakil ketua KPK, Johanis Tanak. Pernyataan itu kemudian dibantah Ketua KPK Sementara Nawawi Pomolango dan Deputy Penindakan KPK bahwa belum ada penetapan tersangka terhadap Muhammad Suryo terkait dugaan OTT dan suap di DJKA Kemenhub.
“Itu kan seharusnya sudah masuk kategorinya pelanggaran etik, masak sesama pimpinan saling bantah. Itu perlu diluruskan dan dicari motivasi membuat pernyataan tersebut. Bahkan bisa dikategorikan pembohongan publik,” paparnya.
Johannis Tanak sendiri pernah diperiksa Dewas KPK atas Laporan ICW terkait melakukan komunikasi dengan Kepala Biro Hukum Kementerian ESDM, Idris Sihite, yang bakal ditetapkan tersangka oleh KPK pada bulan Oktober 2022. Sidang etik Dewas memutuskan Johanis Tanak tidak bersalah karena belum menjadi pimpinan KPK, di mana dia dilantik pada 28 Oktober 2022. Padahal Johanis Tanak yang mantan Hakim PN Tipikor itu sudah dinyatakan sebagai pimpinan KPK menggantikan Lili Pantauli Siregar yang mengundurkan diri, setelah diduga terima gratifikasi tiket, hotel dan nonton MotoGP Mandalika. Johanis Tanak dinyatakan menang setelah voting di Komisi III DPR RI pada 28 September 2022. Artinya dia hanya menunggu penetapan dan pelantikan saja.
“Tidak efektifnya keberadaan Dewas KPK itu sudah patut dibubarkan saja. Jaman Ketua KPK Antasari Azhar atau Abraham Samad tanpa perlu Dewas KPK langsung mengambil sikap gentleman dengan mengundurkan diri ketika tersangkut masalah hukum, ” tambah Edy. ***