SuryaNews Bojonegoro-Pengamat politik dan sosio kemasyarakatan menilai mustahil Pilkada Bojonegoro dilaksanakan dengan calon tidak tunggal. Mustahil PKB sebagai pemenang pileg di Bojonegoro tidak akan mengusung calon, apalagi ada sosok Anna Mu’awanah, yang bisa dibilang in-cumbent meski ada jedah tidak menjabat setahun. Selain itu masih ada sosok Teguh Haryono dari PDIP.
“PKB merupakan partai pemenang pileg di Bojonegoro dengan 13 kursi dewan. Tidak perlu koalisi partai lain bisa mencalonkan paket sendiri. Selain itu, masih ada PDIP dengan sosok Mas Teguh – suara pileg kemarin juga cukup fantastis. Tapi PDIP cuma 6 kursi perlu partai koalisi, atau bisa jadi merapat ke Anna kalau semua partai diboyong Wahono-Nurul,” kata Ketua Kelompok Diskusi Anti 86 (Kodat86), Cak Ta’in Komari kepada media Sabtu (27/7).
Menurut Cak Ta’in, PKB dengan sosok Anna Mu’awanah masih sangat sulit untuk dikalahkan, apalagi kalau PDIP bergabung dengan memaketkan kadernya Mas Teguh. Melihat konstalasi politik di Provinsi Jawa Timur juga hampir pasti terjadi duit PKB-PDIP, bolak-balik pasangan Risma Harini dan KH. Masduki. “Dalam pilkada 2024 ini, antara pencalonan provinsi dan kabupaten kota pasti pararel karena itu memudahkan suksesi,” ujarnya.
Mantan Dosen, staf ahli pimpinan Dewan dan jurnalis itu menekankan, wilayah Jawa Timur merupakan basisnya PKB sehingga tidak mungkin PKB tidak akan mengajukan calon sendiri. Sebagai partai pemenang pileg di Bojonegoro, apalagi ditambah sosok Anna yang sudah tidak asing, rasanya sulit calon yang ujuk-ujuk muncul meski orang asalnya Bojonegoro. “Kedekatan kandidat dengan calon itu sangat menentukan sikap pemilih nantinya. Anna Mu’awanah sudah melakukan sosialisasi secara berkesinambungan langsung dan tidak langsung. Wahono-Nurul masih sebatas eforia karena dukungan banyak partai.” urai Cak Ta’in.
Jadi, lanjutnya, isu Bojonegoro bakal calon tunggal Wahono-Nurul itu sengaja dihembuskan untuk melemahkan relawan dan timses Anna Mu’awanah atau kandidat lain yang ingin muncul. Analisa itu sangat tidak rasional dan tidak mendasar. Begitu juga dengan survey yang mengunggulkan Wahono-Nurul jauh di atas Anna Mu’awanah.
“Politik itu kan memang permainan. Siapa yang pintar mengelola isu melalui buzzer untuk mempengaruhi netizen dan publik umumnya, dia memang potensi menang. Namanya penggiringan opini, sebab pendapat yang umum dan ikuti banyak orang itu yang dianggap benar padahal belum tentu benar, atau mala salah besar. ” jelas Cak Ta’in.
Cak Ta’in menambahkan, untuk memenangkan kontestasi pilkada bakal dipengaruhi banyak hal. Bergeraknya timses dan relawan secara terstruktur, sistemik dan massif. Kandidat juga harus aspiratif dan komunikatif. Artinya semua tergantung sejauh mana kepedulian para kandidat dalam memobilisasi timses dan relawan di lapangan. Kuncinya tentu ada pada pendanaan politik.
“Non-sense politik tanpa pendanaan yang cukup. Timses dan relawan itu butuh dana mobilisasi dan konsolidasi. Dalam politik, untuk kalau saja perlu habis duit banyak, apalagi mau menang. Jadi kalau gak berani keluar uang, gak berani modal, rasanya kok mustahil bakal menang. Sederhana juga pertanyaan bukankah Nurul Azizah sebelumnya bakal calon bupati melalui jalur independen berpasangan dengan Gus Nafiq Attanwir? Kok sekarang masuk jalur partai dan hanya menjadi cawabup. Masalah utamanya apa kira-kira? Kalau menurut saya ya soal pendanaan politik. Bisa ditelurusi kok,” tambahnya.
Cak Ta’in menegaskan, sulit bagi Wahono-Nurul mengalahkan Anna Mu’awanah, apalagi berpasangan dengan Teguh Haryono. Keduanya sudah membuktikan secara personal dalam politik. Mas Teguh meskipun tidak berhasil duduk di DPR RI, tapi sumbangsih suara dan perannya cukup besar mengantarkan kader PDIP Abidin Fikri melenggang ke Senayan. ***