Ogah Panggil Anna Mu’awanah, Lemtaki Nilai Kajari Bojonegoro Tak Berani Bongkar Tuntas Korupsi Mobil Siaga Desa !

0
218

SuryaNews Bojonegoro-Dugaan korupsi mobil siaga desa yang ditangani Kejaksaan Negeri Bojonegoro (Kejari) dinilai hanya berputar-putar saja prosesnya. Kades dan camat yang bolak-balik diperiksa atau dealer sekedarnya. Padahal banyak elit jabatan di Pemkab Bojonegoro terlibat.

“Kami pesimis Kajari Bojonegoro bakal menuntaskan kasus dugaan korupsi mobil siaga desa. Pasalnya pemeriksaan masih berputar-putar saja di antara kades, camat dan dealer. Padahal ada elit pejabat yang membuat kebijakan itu, termasuk mantap bupati, Anna Mu’awanah. Mengapa tidak dipanggil diminta keterangan dan sebagainya.” kata Ketua Lembaga Transparansi Anggaran dan Anti Korupsi Indonesia (Lemtaki), Edy Susilo SSos kepada media Jum’at (5/4).

Kasus korupsi mobil siapa desa telah dinaikkan statusnya menjadi penyidikan oleh Kejari Bojonegoro, namun hingga saat ini belum diumumkan tersangkanya. Sejauh ini belum terdengar kabar ada elit pejabat yang dipanggil terkait mobil siaga desa yang menjadi bagian dari Anggaran Bantuan Desa. Proyek pengadaan yang muncul pada APBD Perubahan TA 2022 senilai Rp. 103 miliar itu diduga tidak melalui prosedur penyusunan anggaran.

“Kinerja penyidik patut dipertanyakan, karena sejauh ini tidak ada perkembangan berarti. Kasus dimulai sejak akhir tahun 2023 lalu, padahal kasusnya sederhana. Mestinya kerja ada target sehingga publik tidak dibuat bingung dan bertanya-tanya apakah aparat kejaksaan serius atau tidak dalam mengungkap kasus-kasus korupsi di Bojonegoro yang banyak macam.” tukas Edy.

Menurut Edy karena melihat tidak adanya perkembangan proses hukum terhadap mobil siaga desa apalagi berharap dibongkarnya kasus lainnya Kartu Tani Mandiri, Lemtaki Bakal Lapor dan Demo di Kejaksaan Agung maupun KPK agar kasus-kasus tersebut disupervisi atau diambil alih.

“Setiap proyek strategis tentu didahului dengan adanya study kelayakan, maka naskah akademiknya perlu dibuka dan dilihat. Apakah memang ini direncanakan dengan baik, atau asal ngucap dilaksanakan. Yang normatif saja soal prosedural sesuai dengan aturan perundangan dipenuhi atau tidak. Kalau soal angka korupsi dan kerugian negara itu urusan BPKP nantinya. Persoalannya penyidik sudah mengajukan permohonan audit belum?” jelas Edy.

Ada 419 desa yang ditetapkan menerima mobil siaga desa tersebut dengan anggaran total Rp. 103.750.000.000,- Masing-masing desa mendapatkan alokasi Rp. 250 juta. Mobil siaga ada tiga jenis yakni Suzuki APV, Daihatsu Luxio, dan Wuling Confero. Yang paling banyak mengambil Suzuki APV dengan harga APV on the road sekitar Rp. 218,5 juta. Sementara jika dibeli dalam kondisi off the road harganya hanya berkisar Rp. 114 juta.

Dalam pembelian mobil siaga desa tersebut, dealer Suzuki memberikan suap dan gratifikasi berupa potongan harga alias diskon sekitar Rp. 15 juta setiap mobilnya, termasuk dari dealer lainnya Daihatsu Luxio maupun Wuling. Terakhir sejumlah kades ramai-ramai mengembalikan dana gratifikasi tersebut.

Edy menilai, delik kasusnya dan hasil perkembangan penyelidikan kejaksaan, kasus pengadaan mobil siaga desa itu sudah memenuhi unsur pidana korupsi, apalagi statusnya sudah dinaikkan ke penyidikan. Masalah yang perlu dipecahkan, apakah dalam pengadaan tersebut semata inisiatif dealer atau ada pejabat yang mengkondisikan sebagai aktor centralnya.

“Jadi kita bukan melihat ketidakseriusan, tapi mungkin ketidakberanian penyidik memanggil mantan bupati Anna Mu’awanah. Setidaknya dimulai dari pejabat sektor koordinasi terkait pengadaan mobil siaga desa tersebut. Ini kok mbulet saja kayaknya,” papar Edy.

Mahasiswa Master Hukum Unitomo Surabaya itu menjelaskan, ada empat poin yang perlu diperhatikan secara seksama yakni pertama harga mobil yang dibeli, maka sisa anggaran harus kembali disetor ke kas daerah; kedua penerimaan cashback kepada kepala desa sebagai bentuk gratifikasi; ketiga, pemberi gratifikasi yakni dealer mobil Suzuki; dan keempat, adakah aktor utama yang mengkondisikan pengadaan mobil tersebut.

Untuk itu, Edy akan mendesak Kejaksaan Agung agar mensupervisi kinerja penyidik kejaksaan negeri Bojonegoro yang terkesan tidak serius tersebut. “Seharusnya sudah ada kejelasan berapa angka kerugian negara berdasarkan audit BPKP dan segera mengumumkan tersangkanya. Korupsi mobil siaga desa itu memang berjama’ah, dibuktikan dengan pengembalian dana oleh sebagian kepala desa. Jadi delik kasusnya jelas, apa lagi yang ditunggu. Mosok nunggu didemo dulu baru bergerak lagi,” paparnya.

Edy menekankan bahwa penerimaan cashback pembelian mobil siaga oleh para kades itu jelas melanggar Pasal 12a atau Pasal 12b UU No.31 tahun 1999 Jo. UU No.20 tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

“Ancaman hukumannya lumayan kalau penerimaan itu masuk kategori pelanggaran pasal 12a dan 12b. Minimal 4 tahun dan maksimal 20 tahun penjara,” jelas Edy.

Pasal 12a dan 12b hampir senada bunyinya yang intinya ‘pegawai negeri atau penyelenggara negara yang menerima hadiah atau janji, padahal diketahui atau patut diduga bahwa hadiah atau janji tersebut diberikan sebagai akibat atau disebabkan karena telah melakukan atau tidak melakukan sesuatu dalam jabatannya yang bertentangan dengan kewajibannya;’

“Kasus mobil siaga desa ini seharusnya sudah bisa P21, tapi mengapa masih berputar di seputaran kades. Seharusnya sudah diumumkan tersangka dan sudah ada hasil audit BPKP terkait kerugian negara” tegas Edy.

Lemtaki menjadi pesimis kasus-kasus korupsi di Bojonegoro bakal dituntaskan semua. Kasus Mobil Siaga Desa merupakan proyek kecil jika dibandingkan dengan anggaran pendidikan yang mencapai triliun setiap tahun, anggaran pertanian yang merupakan basic kehidupan masyarakat, termasuk Kartu Petani Mandiri yang sudah sempat dipanggilnya Kadis Pertanian. “Kalau yang kecil saja hampir setengah tahun tak selesai, bagaimana dengan kasus yang besar dan lebih rumit?” tambah Edy bertanya.***