SuryaNews Batam-Pengelolaan air bersih di Kota Batam bisa menghasilkan uang besar. Setidaknya ada Rp. 45-50 miliar setiap bulannya. Tentu penghasilan yang besar itu menjadi nafsu orang untuk menguasainya. Maka siasat demi siasat digunakan serapi mungkin seolah tidak melanggar aturan perundangan.
Sesuai poin dalam Undang-undang Sumber Daya Air yang dikembalikan kepada UU No. 11 tahun 1974 tentang Pengairan, dan pasca dibatalkan UU No.7 tahun 2004 tentang Sumber Daya Air oleh Mahkamah Konstitusi dengan putusan nomor 85/PUU-XI/2013 karena bertentangan dengan UUD 1945.
“Pasca UU Nomor 7 tahun 2004 itu dibatalkan, maka pengelolaan air tidak boleh diswastakan. Ini hanya sebuah alibi untuk beramai-ramai ‘merampok’ uang besar dari hasil pengelolaan air. Sebulan bisa masuk 45-50 miliar kotor, bersihnya bisa 30-35 miliar lah.” kata Ketua Kodat86, Cak Ta’in Komari SS kepada media, Rabu (17/7).
Menurut Cak Ta’in, setelah terbitnya PP No.122 tahun 2015 tentang Sistem Penyediaan Air Minum (SPAM) praktis badan usaha swasta dilarang mengelola air minum (bersih), kecuali untuk kebutuhan sendiri dan tidak terjangkau oleh layanan SPAM. Keterlibatan badan usaha swasta yang diperbolehkan berupa kerjasama investasi pada sektor air baku dan produksi.
“Kita melihat agreement yang tidak jelas antara BP Batam dan Moya tersebut, sebab indikasinya tidak memenuhi ketentuan yang disyaratkan. Investasi apa yang dilakukan Moya? Instalasi WTP untuk produksi dan pipanisasi sudah dilakukan oleh perusahaan konsesi sebelumnya yakni PT. ATB. Dalam hal teknologi pengoperasian dan pemeliharaan SPAM apalagi,” urainya.
Lebih lanjut Cak Ta’in menjelaskan, agreement itu hanya akal-akalan agar pendapatan besar dari pengelolaan air itu bisa dikuasai secara beramai-ramai. Kalau dikelola sepenuhnya oleh UPT Air Batam Hulu/Hilir bentukan BP Batam, maka secara keseluruhan pendapatan akan masuk kas BP Batam. “Ini sengaja menggunakan pihak kedua Moya. Coba cek susunan struktur dalam perusahaan Moya dari Komisaris, direksi hingga pejabat strategisnya, ada gak orang-orang yang terafiliasi dengan kekuasaan?” Ujarnya.
Sudah begitu, lanjut Cak Ta’in, pengelolaannya tidak beres, setiap waktu ada gangguan. Itu sudah berlangsung bertahun-tahun sejak serah terima dari ATB ke BP Batam dilakukan. “Intinya mereka tidak serius mengelola air minum. Bersih saja tidak apalagi layak minum. Lebih tepat dibilang tidak mampu, tidak paham dan tidak memiliki kapabilitas.” tegas mantan jurnalis itu.
Cak Ta’in menambahkan, air merupakan salah satu kebutuhan dasar dalam kehidupan manusia yang harus dipenuhi. Dalam konteks bernegara itu menjadi tanggung jawab pemerintah pusat atau daerah dengan membentuk BUMN, BUMD, UPT atau UPTD untuk mengatur, merencanakan, dan mengendalikan (melalui perizinan) serta pengawasan terhadap SPAM.
“Pengusahaan atas air tidak boleh mengganggu apalagi meniadakan hak rakyat atas air. Pemerintah/BP Batam harus memenuhi hak rakyat atas air bersih tersebut.” seru mantan dosen Unrika tersebut.
Cak Ta’in sudah menyerukan kepada aparat penegak hukum, terutama kejaksaan untuk memeriksa agreement pengelolaan air antara BP Batam dan PT. Moya Indonesia. Menurutnya, agreement tersebut berpotensi menjadi kasus hukum bahkan menjadi ladang korupsi berjama’ah. ***