Pimpinan MPR: Negara Harus Serius Perhatikan Para Pekerja Migran

0
449

Jakarta, SURYANEWS.CO.ID – Jazilul Fawaid Wakil Ketua MPR RI menilai, salah satu tolok ukur negara maju adalah jumlah pengangguran. Kalau pengangguran di suatu negara tinggi, maka negara itu belum bisa menyandang status negara maju.

Mengacu pada ukuran itu, Indonesia belum masuk dalam daftar negara maju. Karena, masih banyak warga yang memutuskan menjadi pekerja migran di luar negeri, akibat terbatasnya lapangan pekerjaan di dalam negeri.

Ironisnya, menurut Jazilul, negara belum serius memperhatikan nasib para pekerja yang sering disebut pahlawan devisa, selepas mencari nafkah di luar negeri.

“Negara harus perhatikan para pekerja migran yang kembali ke Tanah Air. Selepas bekerja dari luar negeri belum tentu mereka sukses seperti bayangan orang. Saya sering menemukan pekerja migran yang bekerja sebagai pembantu rumah tangga, kembali di tanah air, nasib mereka tetap sama, bekerja sebagai pembantu rumah tangga,” ujarnya dalam forum diskusi Empat Pilar MPR RI, Jumat (10/9/2020), di Gedung Parlemen, Senayan, Jakarta.

Legislator asal Pulau Bawean, Kabupaten Gresik, Jawa Timur itu mengutip ungkapan yang pernah disampaikan Soekarno Proklamator RI, kita bukan bangsa kuli dan bukan kuli di antara bangsa-bangsa.

Dia juga mengutip Pasal 27 ayat (2) UUD NRI Tahun 1945 yang berbunyi, tiap-tiap warga negara berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan.

“Itu menunjukan bahwa pekerjaan adalah hak dasar manusia,” katanya.

Lebih lanjut, Jazilul berharap para pensiunan pekerja migran mendapat pelatihan ketrampilan, sehingga sekembalinya di tanah air, kehidupannya menjadi lebih baik.

“Saya tidak tahu ada atau tidak anggaran untuk memberi pelatihan dan perhatian kepada para pekerja migran yang kembali ke Tanah Air,” ucapnya.

Dalam forum yang sama, Benny Ramdhani Kepala Badan Perlindungan Pekerja Migran Indonesia (BP2MI) mengungkapkan sejumlah kendala yang dihadapi lembaganya dalam melindungi para pekerja migran.

Kendala pertama, minimnya anggaran, sekitar Rp200 miliar. Kendala kedua, perbedaan data jumlah pekerja migran.

“Data Kementerian Luar Negeri berbeda dengan data Kementerian Ketenagakerjaan. Bank Dunia juga memiliki data tersendiri mengenai berapa banyaknya pekerja asal Indonesia yang tersebar di 152 negara,” ungkapnya.

Kendala ketiga yang dihadapi BP2MI, kata Benny, adalah sindikat pengiriman tenaga kerja yang kerap melakukan pelanggaran hukum dan tidak manusiawi.

“Aanehnya, sindikat itu tidak bisa dan tidak pernah tersentuh secara hukum. Sindikat itu melibatkan banyak pihak dan berasal dari oknum-oknum institusi kuat. Makanya, saya menyatakan perang dengan sindikat itu dengan membentuk Satgas Anti Sindikat Pengirim Tenaga Migran,” pungkasnya.(rid/iss/ipg)