Jakarta, SURYANEWS.CO.ID – Di era new normal pemeriksaan rapid test sudah menjadi syarat untuk masyarakat bepergian. Sebuah isu muncul bahwa ada pihak yang memanfaatkan situasi ini untuk bisnis karena biaya rapid test yang dipatok mahal.
Berdasarkan telusuran di tiga RS di Jakarta, masing-masing menerapkan harga yang berbeda yakni Rp 290.000, Rp 350.000, hingga Rp 425.000. Tapi RS di daerah seperti RSU Muhammadiyah Babat Lamongan mematok harga Rp. 150.0000. Padahal Kementerian Kesehatan telah mengeluarkan surat edaran (SE) mengenai batasan tarif rapid test antibodi untuk COVID-19 maksimal Rp 150.000 yang ditetapkan 6 Juli 2020.
Pengamat Kesehatan Vincent Harjanto seperti dikutip dari detik.com menilai memang ada bisnis yang dilakukan RS/Klinik di balik penerapan harga rapid test yang mencapai Rp 300.000 sampai Rp 400.000.
“Memang itu (bisnis, rapid test). Kalau mau turunin harga tunggu informasi dari manajemen, kalau mau naikin harga nggak usah tunggu, langsung naikin. Ini rumah sakit apa pedagang,” kata dia saat dihubungi awakmedia, Kamis (9/7/2020).
Dengan pemerintah menetapkan harga maksimal rapid test Rp 150.000, seharusnya pihak RS/Klinik bisa mengikuti kebijakan tersebut agar tidak terkesan mengambil keuntungan lebih. “Pak Menkes sudah kasih SE-nya, jadi semua harus ikut. Jangan sampai terjadi kesan bahwa dipakai untuk mendapat keuntungan yang lebih,” ucapnya.
Apalagi harga impor alat rapid test yang dinilai hanya US$ 3 atau Rp 45.000 (kurs Rp 15.000/US$), pihak RS/Klinik seharusnya bisa menetapkan harga Rp 150.000.
“Harga impor US$ 3 (satu rapid test). US$ 3 tuh berapa sih Rp 43.000, anggap saja Rp 45.000 deh. Terus ongkos yang lain itu apa apa apa kenapa dijual Rp 350.000? Menurut saya (maksimal) Rp 150.000 fair lah artinya harus dapat keuntungan nanti ada tenaga dokter lah, ada penyediaan tempat lah dan sebagainya. kita nggak bisa bilang impor US$ 3 terus dijual Rp 50.000 itu nggak mungkin juga, tapi jangan Rp 350.000,” ungkapnya.
Sementara Ketua Dewan Pertimbangan Ikatan Dokter Indonesia (IDI), Zubairi Djoerban menilai harga rapid test yang sudah ditetapkan RS/Klinik saat ini sudah sesuai dengan segala perhitungan yang seharusnya. Jika harga tidak sesuai dengan perhitungan, maka RS/Klinik dianggap akan kesulitan ekonomi. “Kalau ada swasta yang mendirikan saya kira prinsip ekonominya jadi sulit. Kan kalau laboratorium swasta itu for profit (untuk untung),” tandasnya
ekjen Gabungan Alat Kesehatan dan Laboratorium Indonesia (Gakeslab), Randy Teguh mengatakan impor alat rapid test yang seharga US$ 3 sampai US$ 5 belum termasuk pajak dan pembiayaan pemeliharaan saat berada di gudang. Sehingga sebelum dijual ke RS, pihaknya harus memperhitungkan biaya pemeliharaan tersebut.
“Harus dihitung berapa pembiayaan gudang, apakah produk tersebut harus ditaruh di gudang yang suhunya terkontrol, itu semua ada biaya. Gudang harus kita pastikan bersih, jadi harus ada test controlnya, kita harus pastikan tidak lembap atau harus ada kontrol kelembapan itu biaya-biayanya ada. Belum lagi kalau alkes harus ada pelatihan kepada perawat, pelatihan kepada dokter, itu ada biaya-biaya. Semua itu baru biaya mencukupi untuk operasional sebagai pengusaha alkes,” urainya.
Dengan harga alkes yang dijual selama ini ke pihak RS, Randy mengklaim telah menyesuaikan harga dengan memperhitungkan biaya pemeliharaan tersebut.
“Dari kami itu memang sudah mengeluarkan SE kepada seluruh anggota bahwa dalam masa pandemi kita harus berlaku sebagai pelaku usaha yang bertanggung jawab, profesional dan berintegritas. Bagi kami yang penting dari harga modal beli impornya ya kita tambahkan margin yang secukupnya untuk kita jual yang penting biaya-biaya tertutup,” ujarnya.
Misalnya saja dari pengusaha menjual alat rapid test ke RS seharga Rp 65.000, pihak RS masih harus menghitung biaya lainnya saat melakukan rapid test ke pasien seperti Alat Pelindung Diri (APD), hingga jasa perawat.
“Kita jual ke RS dan memang petugasnya sendiri perlu pakai APD, katakan APD Rp 200.000 itu berarti sudah Rp 265.000 ditambah mungkin kita harus hitung jarum suntik, plester katakan Rp 10.000 berarti Rp 275.000, mungkin ada biaya untuk gaji perawat, pembayaran utilitasnya listrik, AC, mungkin Rp 350.000 sampai Rp 400.000 sih bisa jadi,” katanya
Sumber: detikfinance