Sekantong Darah di Tengah Pandemi

0
492

Jakarta, SURYANEWS.CO.ID  – Sejak Presiden Joko Widodo mengumumkan untuk pertama kalinya pasien 01 dan 02 COVID-19, tatanan kehidupan wajah Ibu Pertiwi mulai berubah. Rasa cemas, takut dan gelisah seketika melintas dibenak tiap orang karena khawatir terpapar virus yang pertama kali diketahui menginfeksi orang di salah satu pasar tradisional di Kota Wuhan, Provinsi Hubei, Cina.

Di Istana Presiden yang terletak di Jalan Merdeka Utara, Presiden Joko Widodo yang kala itu menggunakan kemeja putih dan celana hitam didampingi langsung Menteri Kesehatan Terawan Agus Putranto menjelaskan kronologi terpaparnya dua pasien yang merupakan ibu dan anak.

Dalam jumpa pers tersebut, Presiden ke-7 RI itu mengatakan semua negara sebenarnya sejak awal telah berhati-hati dalam menghadapi ancaman virus corona, tidak terkecuali Indonesia.

Namun, pernyataan Presiden sejatinya tidak mampu mengatasi rasa cemas, takut hingga kepanikan masyarakat atas ancaman virus corona. Akibatnya, sejumlah fenomena terjadi di Tanah Air salah satunya “panic buying” atau kepanikan masyarakat sehingga memborong beragam keperluan untuk persediaan jika terjadi karantina wilayah sebagaimana diterapkan di Kota Wuhan.

Kini, tujuh bulan berlalu pascapertama kalinya pasien 01 dan 02 diumumkan pemerintah. Hingga Kamis (17/9) tercatat 232.628 orang yang telah terpapar virus dimana 9.222 jiwa di antaranya meninggal dunia dan 166.686 jiwa berhasil sembuh.

Pandemi COVID-19 benar-benar meluluhlantakkan sendi-sendi kehidupan. Salah satu ancaman terbesar virus tersebut ialah hilangnya rasa solidaritas dan kemanusiaan.

Orang-orang bisa saja menjadi lebih individualis, kemudian mengenyampingkan rasa kepedulian karena khawatir terinfeksi. Apalagi, hingga kini belum ada vaksin yang dapat digunakan untuk penyembuhan.

Salah satu bukti mulai terkesampingkannya rasa kemanusiaan ialah menurunnya persentase donor darah di Tanah Air. Tidak main-main, penurunan jumlah pendonor bahkan mencapai 50 persen.

“Di masa pandemi ini, kepedulian kita harus dikedepankan. Termasuk kesadaran akan donor darah,” kata Ketua Umum Palang Merah Indonesia (PMI) Jusuf Kalla.

Tokoh asal Sulawesi Selatan tersebut khawatir jumlah orang yang mau mendonorkan darah setiap harinya makin sedikit. Padahal, kebutuhan darah harus tetap tercukupi ada atau tidaknya pandemi COVID-19.

“Di Jakarta saja kita butuh 1.000 kantong darah per hari,” kata Wakil Presiden dua periode tersebut.

Selama pandemi, PMI melakukan strategi “jemput bola” agar kebutuhan darah tetap tersedia walaupun hingga kini secara nasional masih kekurangan 20 hingga 30 persen.

Strategi jemput bola tersebut dilakukan dengan cara melibatkan langsung personel TNI, Polri hingga Aparatur Sipil Negara (ASN). Usaha PMI tidak sia-sia dimana sekitar 50 persen persediaan darah di Indonesia berasal dari tiga instansi tersebut.

Dalam rangka peringatan hari jadi PMI pada 17 September 2020, organisasi kemanusiaan itu kembali menggalakkan aksi donor darah bekerja sama dengan TNI tepatnya dimulai pada 5 September. Berdasarkan jadwal yang telah ditentukan, kegiatan itu akan terus dilaksanakan hingga 22 September 2020.

Kegiatan aksi donor darah tersebut merupakan komitmen PMI agar tetap bisa menyediakan kantong darah untuk masyarakat yang membutuhkan.

Selain bekerja sama dengan TNI dan lembaga lainnya, JK sapaan akrabnya juga mengapresiasi sejumlah organisasi pemerintah maupun swasta yang turut serta membantu PMI dalam menggalakkan aksi donor darah.

Sebagai contoh, aksi donor yang dilakukan oleh Gerakan Donor Darah Perempuan Indonesia beberapa waktu lalu. Aksi kemanusiaan tersebut berhasil mengumpulkan 465 kantong darah dari 527 pendaftar.

“Ini sebuah langkah positif menolong sesama di masa pandemi COVID-19,” ujarnya.

Tidak hanya itu, pasangan Mufidah Miad Saad tersebut juga mengapresiasi banyaknya kalangan pemuda-pemudi yang turut serta. Menurut dia, gerakan atau aksi nyata generasi muda saat ini begitu dibutuhkan, salah satunya dengan mendonorkan darah demi menyelamatkan pasien yang membutuhkan darah.

Aksi donor darah tersebut pada hakikatnya telah membantu PMI. Hal ini diharapkan terus menjadi kontribusi yang mampu menggerakkan hati masyarakat untuk menyumbangkan darahnya demi menyelamatkan sesama.

Sementara itu, Ketua Bidang Unit Donor Darah PMI pusat dr Linda Lukitari Waseso mengatakan kegiatan donor darah tersebut dilakukan di 86 titik di antaranya Komando Daerah Militer (Kodam), Komando Resor Militer (Korem), Pangkalan TNI Angkatan Udara (Lanud) dan di 223 unit donor darah milik PMI yang tersebar di berbagai provinsi.

Rencananya, PMI dan TNI menargetkan satu titik lokasi donor darah mampu menyumbangkan 500 kantong darah. Sehingga, secara kumulatif bisa mencapai 43.000 kantong darah selama kegiatan sosial tersebut berlangsung.

dr Linda mengatakan selain para prajurit TNI, aksi donor darah juga mengajak dan melibatkan keluarga serta kerabat personel TNI untuk melakukan aksi kemanusiaan tersebut.

“Yang pasti pendonornya anggota TNI,” katanya.

Selain strategi jemput bola, PMI juga melakukan subsidi donor darah dimana daerah yang kekurangan dapat dibantu oleh daerah lain yang memiliki pasokan lebih. Misalnya jika DKI Jakarta kekurangan darah, maka PMI Sulawesi atau daerah lainnya dapat membantu.

Plasma darah

Tidak hanya berupaya mencukupi kebutuhan darah di masa pandemi, sejak beberapa bulan terakhir organisasi yang dikomandoi oleh Jusuf Kalla tersebut terus berusaha merangkul para penyintas COVID-19 agar bersedia mendonorkan plasma konvalesennya. Hal ini berguna untuk terapi penyembuhan pasien COVID-19 yang sedang berjuang melawan penyakitnya.

Terapi plasma konvalesen adalah alternatif pengobatan untuk menyembuhkan pasien COVID-19 dimana plasma dari pasien sembuh ditransfusikan ke pasien lain yang masih sakit untuk penyembuhan.

Terapi tersebut sangat berguna dan membantu orang-orang yang sedang berjuang melawan COVID-19. Setidaknya, seorang penyitas COVID-19 bisa menolong tiga pasien dengan menyumbangkan 400 mililiter plasma darahnya.

Namun, bukan perkara mudah mengajak serta merangkul penyintas COVID-19 agar mau mendonorkan plasma konvalesen miliknya. Trauma dan rasa takut dikucilkan oleh lingkungan merupakan alasan terbesar dari para penyintas sehingga mereka mengurungkan niat untuk melakukan hal itu.

dr Linda mengakui animo masyarakat untuk melakukan donor plasma konvalesen hingga kini masih rendah. Hal itu bisa jadi dikarenakan trauma dari penyintas akibat sakit yang mereka derita.

Sebagai contoh, adanya stigma negatif yang masih kerap dialamatkan kepada penderita sehingga mereka dijauhi oleh masyarakat di lingkungan sekitar.

Hingga kini, secara nasional PMI baru mencatat sekitar 250 orang dari berbagai daerah yang telah melakukan donor plasma konvalesen.

“Saya mengajak pasien yang sembuh agar mau mendonorkan plasma konvalesen demi membantu pasien COVID-19,” ujar dia. (*)