SuryaNews Bojonegoro-Kondisi penegakan hukum di Bojonegoro kontraproduktif dengan yang dilakukan Kejaksaan Agung yang tengah gencar membongkar Mega korupsi tata niaga tambang timah dengan korupsi Rp. 271 Triliun. Sementara di Kejaksaan Negeri Bojonegoro sejak akhir tahun 2023 telah menggulirkan pemeriksaan dugaan korupsi pengadaan mobil siaga desa dan awal 2024 kembali menggulirkan kasus Kartu Tani Mandiri. Kedua kasus tersebut seolah-olah berputar-putar saja proses pemeriksaan dan tidak menunjukkan langkah positif.
“Kerja penyidik kejaksaan terkesan tidak serius, berputar di situ-situ saja. Status sudah dinaikkan menjadi penyidikan tapi hingga saat ini juga belum diumumkan tersangkanya. Jangankan berani memanggil mantan Bupati Bojonegoro Anna Mu’awanah, sekelas OPD yang terkait langsung dengan pengadaan mobil siaga saja belum dilakukan,” kata Ketua Lembaga Transparansi Anggaran dan Anti Korupsi Indonesia (Lemtaki) Edy Susilo SSos kepada media (1/4).
Menurut Edy, kinerja penyidik patut dipertanyakan, karena sejauh ini tidak ada perkembangan berarti. Mestinya kerja ada target sehingga publik tidak dibuat bingung dan bertanya-tanya apakah aparat kejaksaan serius atau tidak dalam mengungkap kasus-kasus korupsi di Bojonegoro yang banyak macam.
“Melihat tidak adanya perkembangan proses hukum terhadap mobil siaga desa maupun Kartu Tani Mandiri, Lemtaki Bakal Lapor dan Demo di Kejaksaan Agung maupun KPK agar kasus-kasus tersebut disupervisi atau diambil alih,” jelas Edy.
Edy menjelaskan, penyidik kejaksaan memiliki banyak otoritas dalam pemberantasan tindak korupsi. Kejaksaan bisa menjemput paksa bagi yang tidak kooperatif. Jaksa bisa menggeledah dan menyita benda atau barang yang dianggap penting dalam proses hukum. “Kuncinya cuma satu berani dan serius atau tidak?” ujarnya.
Tahun 2022, Pemkab. Bojonegoro melakukan pengadaan mobil siaga desa melalui APBD Perubahan TA 2022. Ada 419 desa yang ditetapkan menerima mobil siaga desa tersebut dengan anggaran total Rp. 103.750.000.000,- Masing-masing desa mendapatkan alokasi Rp. 250 juta dengan harga APV on the road sekitar Rp. 218,5 juta. Artinya ada selisih yang harusnya dikembalikan ke kas daerah. Sementara jika dibeli dalam kondisi off the road harganya hanya berkisar Rp. 114 juta.
Dalam pembelian mobil siaga desa tersebut, dealer Suzuki memberikan suap dan gratifikasi berupa potongan harga alias diskon sekitar Rp. 15 juta setiap mobilnya, termasuk dari dealer lainnya Luxio maupun Wuling. Kejaksaan juga sudah menemukan selisih yang cukup besar antara harga off the road dengan on the road. Di mana kendaraan operasional pemerintah bisa tidak dikenakan pajak PPN atau PPnBM.
Edy menilai, delik kasusnya dan hasil perkembangan penyelidikan kejaksaan, kasus pengadaan mobil siaga desa itu sudah memenuhi unsur pidana korupsi, apalagi statusnya sudah dinaikkan ke penyidikan. Masalah yang perlu dipecahkan, apakah dalam pengadaan tersebut semata inisiatif dealer atau ada pejabat yang mengkondisikan sebagai aktor centralnya.
“Penyidik seperti jalan di tempat, itu-itu saja yang diproses dan dipanggil. Seharusnya penyidik sudah mengajukan permohonan audit kepada BPKP agar angka potensi kerugian negara segera dapat dihitung. Menyalahi prosedur atau tidak dalam pengadaan mobil siaga desa itu,” papar Edy.
Mahasiswa Master Hukum Unitomo Surabaya itu menjelaskan, ada empat poin yang perlu diperhatikan secara seksama yakni pertama harga mobil yang dibeli, maka sisa anggaran harus kembali disetor ke kas daerah; kedua penerimaan cashback kepada kepala desa sebagai bentuk gratifikasi; ketiga, pemberi gratifikasi yakni dealer mobil Suzuki; dan keempat, adakah aktor utama yang mengkondisikan pengadaan mobil tersebut.
Untuk itu, Edy akan mendesak Kejaksaan Agung agar mensupervisi kinerja penyidik kejaksaan negeri Bojonegoro yang terkesan tidak serius tersebut. “Seharusnya sudah ada kejelasan berapa angka kerugian negara berdasarkan audit BPKP dan segera mengumumkan tersangkanya. Korupsi mobil siaga desa itu memang berjama’ah, dibuktikan dengan pengembalian dana oleh sebagian kepala desa. Jadi delik kasusnya jelas, apa lagi yang ditunggu. Mosok nunggu didemo dulu baru bergerak lagi,” paparnya.
Edy menekankan bahwa penerimaan cashback pembelian mobil siaga oleh para kades itu jelas melanggar Pasal 12a atau Pasal 12b UU No.31 tahun 1999 Jo. UU No.20 tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
“Ancaman hukumannya lumayan kalau penerimaan itu masuk kategori pelanggaran pasal 12a dan 12b. Minimal 4 tahun dan maksimal 20 tahun penjara,” jelas Edy.
Pasal 12a dan 12b hampir senada bunyinya yang intinya ‘pegawai negeri atau penyelenggara negara yang menerima hadiah atau janji, padahal diketahui atau patut diduga bahwa hadiah atau janji tersebut diberikan sebagai akibat atau disebabkan karena telah melakukan atau tidak melakukan sesuatu dalam jabatannya yang bertentangan dengan kewajibannya;’
“Gratifikasi tersebut menurut saya sudah masuk kategori korupsi karena unsurnya sudah memenuhi; kades itu bagian penyelenggara negara, menerima hadiah atau gratifikasi, hadiah atau gratifikasi tersebut diberikan terkait dengan pengadaan mobil siaga, dan patut diduga karena kades melakukan pembelian mobil tersebut. Saya pikir tidak ada alasan kejaksaan tidak memproses cashback pembelian mobil siapa 2022 oleh para kades tersebut. Kalau dealer nya gak kooperatif ya jemput paksa saja dan langsung tahan saja,” tegas Edy.
Pengembalian uang korupsi tidak menghilangkan tindak pidana korupsi itu sendiri, tapi hanya sebatas meringankan. Masalahnya pengembalian itu dilakukan setelah kasus nya sendiri naik status menjadi penyidikan. ” Soal dealer Suzuki saja hingga saat ini belum ada kejelasan apakah sudah diperiksa atau belum. Artinya kalau sekelas itu saja tidak berani dan mereka berani membangkang, seolah ada beking yang kuat,” tambah Edy. ***